30. Surat dari Dimas

6.6K 433 66
                                    

Rhea menopang dagu dengan sebelah tangannya seraya terus mendengarkan curhatan Diva yang tiada henti, seakan tidak memedulikan penghuni kantin yang ribut sana-sini. Beginilah Diva jika sudah menyangkut masa lalunya, terutama mengenai mantan kekasihnya. Rhea menguap, menyadari dirinya mulai mengantuk mendengar setiap kalimat menyedihkan yang terlontar dari mulut gadis di sebelahnya.

"...Nggak ada yang siap buat kehilangan, lo harus tau itu."

Spontan mata Rhea membulat, bahkan acara menguapnya batal seketika itu juga setelah Diva mengatakan kalimat terakhirnya. Sebuah kalimat yang mampu membuat ketiganya bungkam secara berjamaah, terutama dirinya yang mendadak memikirkan hal negatif dalam pikirannya.

Tetapi syukurlah, keheningan itu terpecah dengan kedatangan Dimas yang sepertinya berjalan menghampiri mereka. Oh, bukan hanya sepertinya, karena laki-laki itu sudah berdiri di sisi bangku yang mereka tempati.

"Ngapain lo? Minta makan?" tanya Safira dengan tatapan menyelidik.

"Lo pikir gue kere nggak bisa beli jajan sendiri," balas Dimas sengit. Ia menoleh menatap Rhea dengan tatapan yang... entahlah, sulit diartikan. "Lo Rhea kan?"

Rhea mengangguk lugu, walaupun dalam hati ia mulai was-was. Diva, Safira, dan Cinta menunjukkan ekpresi yang sama, seolah bertanya ada-apa-nih? Tanpa mereka berlima sadari, seluruh pasang mata di kantin mulai mengamati.

"Oh, cantik ya, sayang udah ada yang punya," celetuk Dimas sambil terkikik geli, membuat tiga sahabat Rhea semakin melongo, berbanding terbalik dengan Rhea yang merasa pipinya mulai panas, dan setiap mata di ruangan ini mulai tertuju ke arahnya. Apaan sih ni anak, orang nggak kenal juga.

"Kenalin, gue Dimas, cowok paling unyu seantero sekolah." Dimas mengulurkan tangan ke arahnya, membuat Rhea mendongak. Cowok berkacamata itu tersenyum simpul. Memang tampan, lumayan.

"Woi, kenapa malah jadi kenalan!"

"Gombal lo receh, Mas!"

"Kena amuk sama pacarnya mati lo."

"Eh, iya iya. Sori gue khilaf." Dimas cepat-cepat menarik tangannya kembali dan tertawa ke arah lain, sepertinya tempat dimana teman-temannya duduk. Rhea tidak ingin membalikkan badan hanya untuk melihat empat sisanya, karena tidak ingin semakin digoda.

"Dapet salam nih, dari Aa' ayang-ayang lo." Laki-laki itu mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja, membuka benda yang sudah terlipat-lipat tersebut. "Gue bacain, dengerin baek-baek." Dimas menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata lantang, "Dengan surat ini Reynando Prasraya Mahardika menyatakan akan mengantarkan Rhea Maureen pulang ke rumahnya dengan selamat... Eh, jadi gue dipaksa kesini cuma buat bacain beginian!?"

Sejenak, Dimas melongo setelah menyelesaikan akhir dari isi surat yang disampaikannya. Ia menatap datar ke arah gerombolannya yang duduk di bangku pojok, bangku kebesaran mereka berlima. "Anjing! Mau lo nganterin dia pulang atau enggak juga bukan urusan gue!" umpat Dimas sambil mengacungkan telunjuknya ke arah pojok kantin dengan ekspresi murka yang dibuat-buat.

"Udah, nurut aja apa kata Ray. Baca lagi terusannya!" Itu suara Zidan, sepertinya.

Dimas mengernyitkan dahinya bingung, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Zidan dengan 'terusan'. Ia mengamati kertas yang digenggamnya sekali lagi, lalu berkata, "Oh iya ada terusannya," ujarnya polos, kemudian kembali membacakan isi suratnya, "Jadi, apakah Rhea berkenan menerima ajakan Ray untuk pulang bersama? Gila, bahasanya baku amat." Dimas menahan tawa, sedangkan Rhea, kini giliran dirinya yang mengernyit bingung, masih tidak paham dengan apa maksud Dimas menghampiri dan membacakan surat itu padanya.

"Anjiiirrr Ray so sweet banget."

"Gue juga mau digituin...!"

"Hidup ini tidak adil. Kenapa harus Rhea yang dikejar mulu sama Ray."

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang