33. Memulai Penyelidikan

5.3K 405 55
                                    

"Saya Ridwan, atasan ayah kamu."

Ridwan? Atasan Papa? Ray merasa ada yang janggal. Ia ingat sekali, ayahnya tidak memiliki atasan. Justru ayahnya lah yang menjadi atasan untuk semua bawahannya. Apa pria ini salah orang? Jika iya, bagaimana pria ini tahu namanya?

"Maaf, Om, maksudnya atasan papa di Mahardika Group?" tanya Ray ragu-ragu.

"Mahardika Group? Itu kan perusahaan lama ayahmu. Sekarang dia bekerja di perusahaan saya, Wijaya Group," jawab Ridwan dengan santainya seakan tidak menyadari sorot curiga dari manik mata Ray.

Jadi, Papa pernah pindah perusahaan? Kok gue sama sekali nggak tau?, batin Ray kembali bertanya-tanya. "Oh... Iya, saya baru ingat kalau Papa sekarang keja disana. Papa sejak kapan kerja di perusahaan Om? Soalnya saya lupa." Tidak ada pilihan lain. Ray memang harus bersandiwara.

"Udah lama, sekitar tiga tahun lalu."

Deg!

Arya pindah bekerja tiga tahun lalu, Lisa meninggal tiga tahun lalu. Apa keduanya berhubungan? Lantas, bagaimana kondisi Mahardika Group sekarang? Apakah terbengkalai begitu saja? Siapa yang menggantikan? Banyak sekali pertanyaan yang menggantung begitu saja di pikirannya. Ini akibatnya jika Ray terlalu serius melakukan perang dingin dengan ayahnya sendiri. Ia jadi tidak tahu menahu soal apa yang terjadi pada Arya.

"Kalau begitu, Om pamit dulu, keburu ada meeting. Salam pada ayahmu, sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkan Om. Mungkin kalau tidak ada ayahmu, Om sudah meninggal ditabrak kereta." Setelah terkekeh pelan, Ridwan memberi isyarat pada Aura untuk segera meninggalkan warung ini. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Ray dan Rhea serempak, menyisakan mereka yang kembali berdua. Ray menopang dagu dengan alis berkerut, masih berpikir. Menyelamatkan? Ditabrak kereta? Apa maksudnya, sih?

Arrghhh! Ray mengacak rambutnya kasar, frustasi karena tak kunjung menemukan jawaban.

"Ray?" Gerakan tangan Ray pada rambutnya seketika terhenti mendengar panggilan itu. Ia baru ingat kalau ada makhluk lain di hadapannya. "Nggak papa?"

Ray kembali meletakkan tangannya di atas meja. "Nggak papa, Rhe, cuma agak gatel aja tadi."

"Rambut lo berantakan tuh." Tanpa sadar, Rhea mulai mengangkat tangan dan mencondongkan sedikit tubuhnya, membenahi rambut laki-laki di depannya yang tidak lagi enak dipandang. Setelah dirasanya cukup, ia duduk kembali, kemudian tersenyum manis.

Gadis ini sama sekali tidak merasa canggung, berbanding terbalik dengan Ray yang merasa sekujur tubuhnya memanas

Kenapa jadi gue yang kayak cewek gini sih?

Ray berdehem untuk mencairkan suasana. "Pesen apa? Tujuan kita sekarang kan makan." Disambarnya menu di atas meja sebagai alibi.

Rhea juga melakukan hal yang sama, mengambil menu. "Samain aja deh," jawabnya setelah berpikir cukup lama.

"Oke, lalapan bebek ya."

°°°

Mobil Ray berhenti di depan toko buku besar yang sudah sangat terkenal, Gramedia. Ia baru saja akan turun ketika mendapati Rhea juga berniat membuka pintunya.

"Eh tunggu, jangan turun dulu."

"Kenapa?" tanya Rhea yang sudah memegang pembuka pintu dengan alis bertaut heran.

Tanpa menjawab pertanyaan gadisnya, Ray turun dari mobil, memutar bagian depan mobil, setelah itu membuka pintu penumpang. Ia tersenyum manis. "Tuan putri harus dilayani sebaik mungkin."

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang