Entah berapa lama, sang waktu telah lewat. Ketika layap-layap ia mendusin dari pingsannya dirasakannya seluruh badannya menjadi sakit semua, tulang-tulangnya seperti telah menjadi patah berantakan.
Perlahan-lahan, dibuka kedua matanya, badannya kedapatan terbaring di dalam sebuah goa yang gelap, angin dingin meniup membuat badannya menjadi bergidik.
Ia coba bangun, tapi dadanya dirasakan sesak, seluruh badannya sudah tidak dapat bergerak lagi. Ia mulai merasa heran, ia baru saja terjatuh dari atas tebing jurang yang dalam. Apakah ditolong oleh orang-orang, sehingga terhindar dari maut?
Ia tidak usah memikir lama, waktu itu dari dalam goa terdengar suara dari seorang tua:
"Anak yang baik, kau telah mendapat luka dalam yang berat, jangan kau coba untuk berdiri, perlahan-lahan akan kuusahakan......"
Suara ini diucapkan dengan perlahan-lahan, karena ia sedang memikirkan satu soal yang sulit, bukannya karena kehabisan tenaga.
Lalu terdengar pula suaranya yang seperti berbicara sendiri......
"Empatpuluh tahun bukannya jangka waktu yang pendek, apa dengan begini saja akan ku buang percuma?"
"Aih, waktuku yang hanya beberapa tahun lagi ini, buat apa menyia-nyiakan barang berharga dengan percuma......? Lebih baik kuberikan kepadanya."
Kemudian terdengar suara elahan napas yang panjang dari si orang tua.
Biarpun Koo San Djie tidak mengetahui, soal apa yang telah membikin si orang tua mengelah napas tapi sudah tentu orang inilah yang telah menolongnya.
Maka dengan cepat ia berkata:
"Lope, kau dimana? Terima kasih atas kebaikanmu yang telah menolong San Djie?"
Terdengarlah suara desiran angin yang pelahan, di sebelahnya Koo San Djie telah bertambah seorang tua yang rambutnya digulung menjadi satu, dengan tangannya yang telah keriput mengelus-elus mukanya.
Dengan suara yang penuh kasih sayang si orang tua berkata:
"Anak baik, kau tentu telah mempelajari ilmu silat, jika tidak, urat darahmu akan menjadi pecah, akibat jatuh dari tempat yang demikian tingginya."
Koo San Djie seperti tidak mendengar perkataan si orang tua, ia merasa sangat senang, pipinya dielus-elus oleh tangannya si orang tua yang besar. Dalam ingatannya, kecuali empe Bun, belum pernah ia merasakan kasih sayang yang seperti itu.
Si orang tua yang melihat keadaannya Koo San Djie yang terlongong-longong di antara mukanya yang telah keriput terlihat sekilas senyuman.
"Pernahkah kau mempelajari ilmu pukulan?" ia bertanya
Koo San Djie menggelengkan kepalanya.
"San Djie hanya bisa duduk bersila. Tapi apakah kegunaannya?" jawabnya.
Dalam sekejapan, dimuka si orang tua terlihat keheranan, tapi kemudian menjadi tenang pula. Dengan sikapnya yang sungguh-sungguh ia berkata:
"Sebentar, jika kau sudah menelan KODOK MAS, kau harus lantas mengatur jalan pernapasanmu, agar hawa KODOK MAS yang murni dan hawa dirimu sendiri dapat bercampur menjadi satu, dengan demikian, luka dalammu akan segera menjadi sembuh. Sesudah ini baru aku dapat membantumu mengatur jalan darah."
Sesudah mengucapkan pesanannya ini, sekali berkelebat, si orang tua sudah lenyap dari pandangan mata.
Koo San Djie betul-betul taat pada perkataannya si orang tua, tidak bergerak ia berbaring di tempatnya, pikirannya melayang kemana-mana.
Sekejap kemudian, si orang tua telah kembali, mukanya bersikap tegang, kedua tangannya seperti mengempo bayi, dimana terlihat segumpalan sinar mas yang sebesar kepalan tangan. Gumpalan sinar mas berbentuk seekor katak yang leloncatan di antara kurungan hawa yang tidak berbentuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...