Sinar merah dari ujung timur perlahan-lahan berjalan ke tengah, itulah sang matahari pagi mulai memancarkan sinarnya ke seluruh jagat.
Butiran embun pagi masih berjatuhan dari daun-daun yang terkena goyangan angin pagi. Padang rumput basah dengan laputan air yang mulai mengasap. Dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Selendang Merah dan Koo San Djie meluncur dengan pesat.
Si Selendang Merah yang telah mendekat berakhirnya masa gadis yang berharga, telah kembali kejenakaannya. Ia kini mulai menjadi kolokan, bagaikan pohon kayu yang hampir layu terkena embun pagi lagi, bersemi dan mekar kembali.
Di hadapan Koo San Djie yang lebih kecil dari adik kecilnya, ia malah merasa kecil juga. Seperti anak kecil yang nakal, sering berbuat kolokan dan mengganggu ketenangan Koo San Djie.
Karena mereka kini telah memasuki jalan raya yang lebar, ia sudah memecut dan melarikan kudanya dengan lebih kencang. Tidak perduli Koo San Djie telah berkali-kali memanggil untuk mengurangi kecepatan.
Mendadak, di pinggir jalan terdengar bentakan orang:
"Hei, apa kau tidak punya mata? Melarikan kuda yang benar, jangan serampangan saja, tanpa menghiraukan kepentingan orang!"
Si Selendang Merah baru engah, ia telah menerbitkan onar, maka dengan cepat ia telah menahan jalannya kuda dan menoleh ke belakang, melihat orang yang menegur tadi.
Di pinggir jalan terlihat sepasang muda mudi yang sedang mempelototkan mata. Si pemuda berpakaian seragam, bermuka putih tapi bermata bangor. Si pemudi biarpun tidak berpakaian seperlente kawannya, kemarahannya telah menyebabkan lebih ayu.
Yang membentak Si Selendang Merah tadi adalah si pemuda seragam.
Selendang Merah sudah biasa mengalami teguran seperti ini. Tapi ia tidak mau meladeni si pemuda seragam yang bermata bangor. Ia lebih suka menggoda si pemudi yang menyenangkan:
"Hei adik kecil, aku tokh tidak melakukan kesalahan apa-apa kepadamu."
Si pemudi membeberkan baju putihnya yang telah dibuat kotor, karena derapan kaki kuda Selendang Merah, ia berkata:
"Kau lihat saja, baju yang putih bersih telah dibikin kotor olehmu."
Selendang Merah masih menggoda:
"Oh adik kecil yang takut kotor. Lebih baik kau tinggal diam saja di kamar penganten, sudah tidak akan mengalami kekotoran."
Si pemudi cemberutkan mukanya. Setengah marah ia berkata:
"Poey! Tidak tahu malu, siapa yang menjadi adik kecilmu?"
Selendang Merah belum pernah mengalami makian orang, apa lagi terhadap si pemudi yang dianggapnya sejudes ini. Maka ia sudah loncat turun dari kudanya dan berkata:
"Siapa yang tidak tahu malu?"
Si pemudi dengan tangan memegang gagang pedang berkata:
"Kau!"
Jika si pemuda seragam datang memisahkannya, urusan akan selesai sampai di sini. Tapi ia tidak berbuat demikian, ia juga ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian si pemudi berbaju putih ini yang telah diikutinya sekian lama.
Maka ia mulai membakar:
"Nona Tju, apa perlu aku membantu?"
Selendang Merah paling benci akan pemuda sebangsa orang ini, ia sudah mengayunkan selendangnya ke arah muka si pemuda yang masih tertawa haha hihi.
Si pemuda meluncurkan kakinya ke depan menghindarkan serangan ini.
Si pemudi takut akan dikatakan tidak berguna dan meminta bantuan orang jika si pemuda dan si baju merah ini telah bertarung menjadi satu, maka ia sudah menghunus pedangnya dan mendahului menyerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...