Koo San Djie dengan tindakan lebar telah meninggalkan Makam Merpati, menempuh jalan pegunungan yang penuh lebat alang-alang setinggi manusia.
Di atas pundaknya telah membawa tiga beban berat. Dua tugas gurunya yang harus membersihkan pintu perguruan dan tugas membalas dendam dari keluarga Ong Hoe Tjoe, kesemuanya beban itu telah jatuh ke atas pundaknya.
Pemandangan pada musim rontok selalu membawa kemuraman saja. Ditambah dengan hatinya Koo San Djie yang sedang dalam keadaan pepat, sudah membikin anak muda kita menjadi lusu.
Angin dingin sebentar-sebentar meniup datang, telah membuat daun-daun kering bertambah berisik. Beberapa burung belibis yang lewat mengeluarkan suaranya yang sedih, menambah kekosongan dari hati si pengembara.
Dengan tidak terasa, hati Koo San Djie sudah menjadi bimbang pikirannya seperti telah menjadi kosong. Sementara penderitaan yang tidak terlihat telah datang mengganggunya. Keadaan di sekitarnya yang sepi membuat ia sedih atau perasaan sedihnya yang telah membuat keadaan menjadi sepi, ia sendiri juga tidak mengetahuinya.
Ia hanya merasakan, jika berada disamping Ong Hoe Tjoe, Tju Thing Thing atau Liu Ceng, hatinya baru dapat bergembira. Ia telah merasa perasaan ini telah berubah jauh, bila dibandingkan pada waktu ia masih menjadi bocah angon, juga keadaan sekarang ini. Pada masa kecilnya ia selalu lebih senang jika bersendirian atau dengan binatang-binatang angonnya, ia tidak suka atau lebih baik tidak bertemu dengan para majikan-majikannya. Tapi, kini jika ia kehilangan kawan, maka sepi dan kosonglah dunia ini baginya.
Ia telah mulai melambatkan langkahnya, agar dapat membayangkan, kejadian-kejadian hidupnya dengan lebih leluasa.
Tiba-tiba ia mendengar derap langkah yang cepat sekali. Ia mulai sadar dari lamunannya. Siapa gerangan orang yang lari begitu cepat? Entah urusan penting apakah yang menyebabkan mereka terburu-buru. Hampir saja ia sukar membedakan, derapan kaki atau burung-burung yang beterbangan.
Dari jauh, sebuah bayangan yang kecil keluar dari tikungan jalan pegunungan yang sempit.
Mendadak, Koo San Djie tergetar, seperti terkena aliran listrik yang mempunyai tekanan tinggi. Sebuah bayangan sekelebatan telah tercipta di dalam pikirannya.
"Apa bukan dia orangnya?"
Betul saja, yang datang adalah orang yang diduganya. Sesosok bayangan kecil telah lompat turun di hadapannya dan berkata:
"Engko San......"
Karena terlampau bergembira, sampai ia tidak dapat meneruskan perkataannya. Suaranya pun karena ketegangan sudah menjadi seperti menangis.
Tidak salah! Yang datang adalah Liu Tjeng.
Bukan main terkejutnya Koo San Djie, sambil menarik sebelah tangannya ia bertanya:
"Kau, mengapa keluar lembah?"
Dengan gaya yang patut dikasihani Tjeng Tjeng menjawab:
"Seperginya kau dari lembah, aku sudah menjadi sangat kesal. Hanya aku seorang diri, dengan tidak mempunyai kawan, semua keadaan tidak menyenangkan. Jika aku tetap dikurung di dalam lembah, pasti aku bisa mati kesal......"
Setelah menyusut air matanya yang tidak dapat ditahan lagi, ia meneruskan penuturannya pula:
"Aku telah meminta ijin kepada ayah untuk pergi menjelajah dunia Kang-ouw bersamamu, tapi ayah tidak mau mengijinkannya. Maka aku pergi dengan meninggalkan sepucuk surat kepadanya."
Lalu, ia menundukkan kepalanya. Air matanya sudah semakin deras mengucur keluar. Rambutnya yang hitam sampai mengenai janggutnya Koo San Djie.
Dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mengusap-usap rambutnya yang telah penuh dengan debu, satu persatu dibetulkannya dari kekusutan. Kemudian, dengan setengah menasehatkan ia berkata:
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...