40. Phi-bu Melawan Pengemis Sakti

1.9K 29 0
                                    

Kita balik melihat keadaan Koo San Djie yang berlari-larian dengan menenteng si Selendang Merah. Setelah sekian lamanya berlari masih tidak dapat menemukan jejak Ong Hoe Tjoe juga.

Ia menjadi kesal karena harus kehilangan kekasihnya lagi, maka sambil membanting-banting kakinya ia sudah menjadi uring-uringan sendiri:

"Dulu kau berlaga pilon, tidak mau memperdulikan kepadaku, kini cari-cari lagi alasan yang bukan-bukan, marah dan meninggalkan aku. Apa yang menyebabkan ini semua? Terus terang saja kau katakan, TIDAK SUKA. Akupun masih banyak urusan yang harus dikerjakan."

Ia seperti merasakan ciecie Hoe Tjoe nya telah berobah, berobah jauh sekali dengan pertama kali mereka bertemu, semua-semuanya telah berubah, termasuk sifatnya yang open juga.

Setelah mengucapkan beberapa ocehan, ia sudah menjadi bersusah hati karena seperti telah kehilangan sesuatu barang kesayangan.

Kembali ia teringat akan si pemuda berpakaian seragam, pemuda inilah yang menjadi gara-gara dari perobahan. Biarpun ia menang bertanding dari si pemuda berpakaian seragam, tapi dalam hal menarik hati nona Ong Hoe Tjoe, ia harus menyerah kalah.

Koo San Djie telah berobah tidak mempunyai pendirian, maunya marah-marah saja, tidak perduli, apa saja yang akan dimarahinya.

Sebentar ia sudah berdaya untuk melepaskan gangguan pikiran ini, tapi tidak lama timbul pula pikiran kusutnya.

Jika bukan Koo San Djie yang mengalami kejadian ini, Selendang Merah sudah mentertawakannya. Tapi kini ia tahu, apa yang sedang dipikirkan oleh adik San nya ini, ia tidak berani sembarangan membuka mulut, ia hanya mengintil di belakangnya.

Bisa jadi, karena akibatnya dari si Selendang merah yang telah menjadi lebih jinak, Koo San Djie telah dapat menentramkan kembali hatinya, pikirnya:

"Sebagai orang laki harus dapat mengangkat dan memikul. Untuk selanjutnya tidak akan kupikirkan lagi urusannya......"

Setelah dapat mengambil putusan, hatinya sudah menjadi mantep lagi. Ia telah mengumpulkan segala macam urusan menjadi satu, jika diusut asal usulnya, Lembah Merpatilah yang menjadi pokok gara-gara.

Ia membuat suatu perumpamaan, jika betul dapat menemukan letaknya Lembah Merpati, maka ia harus berbuat bagaimana? Jika hanya mengandalkan dirinya sendiri saja, untuk menyerap-nyerapi kabar saja masih tidak menjadi soal, tapi jika betul-betul mau memecahkan Lembah Merpati, masih terlalu berat baginya. Ia mencoba-coba menghitung orang, yang dapat diminta bantuannya sang supek Liu Djin Liong, Tjeng Tjeng, Tiauw Tua, sastrawan Pan Pin, Ong Hoe Tjoe, Selendang Merah dan Hay-sim Kongcu.

Hitung-hitung dengan cara ini, memang betul banyak orang juga yang dapat diminta bantuannya. Yang sayang ialah orang ini sukar untuk dikumpulkan menjadi satu dalam sekejapan mata.

Mendadak ia teringat akan si Pengemis sakti Kiang Tjo yang sudah menanti di kuil Siauw-lim, mungkin sekali ia mengandung maksud yang dalam.

Pengemis sakti orangnya jujur, biarpun mempunyai ganjelan yang dalam dengan sang supek Liu Djin Liong, tapi itu hanya soal pribadi. Jika menghadapi urusan seperti Lembah Merpati, demi kepentingan dunia Kang-ouw, tidak mungkin ia dapat berpeluk tangan.

Jangka waktu sebulan sudah hampir habis, maka ia sudah menetapkan untuk pergi ke kuil Siauw-lim.

Jalan yang menuju ke kuil Siauw-lim di gunung Siong-san adalah jalan lama yang telah dikenal, sebentar saja ia telah tiba di sana.

Mendadak, ia merasa, dengan mengajak seorang wanita masuk ke dalam kuil adalah tidak pantas maka ia menasehatkan si Selendang Merah untuk tidak usah ikut masuk, dan menunggu di bawah gunung sampai ia selesai dengan urusannya.

Lembah Merpati - Chung SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang