Di musim semi, di danau Pook-yang yang luas, disana-sini terlihat perahu nelayan yang selalu sibuk dengan muatannya.
Para nelayan yang mengandalkan penghidupannya dari danau ini sudah ramai-ramai memasang layarnya, menuju ke tengah sungai, memulai penghidupannya seperti biasa.
Kota Pook-yang yang terletak di pinggir danau, sedari dulu telah menjadi pusat jual beli hasil perikanan. Maka tidak heran, jika di sana sini terdapat banyak toko-toko dan rumah makan.
Di dekat pelabuhan, seorang nelayan she Ong yang telah berumur lebih dari enampuluh tahun telah melamun, dia memikirkan nasibnya, dia bersama istrinya telah lama tinggal di situ, hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini berumur enambelas tahun, suami istri ini memanggilnya Hoe Tjoe yang mempunyai arti kerang tua bermutiara.
Si nelayan tua sering menghela napas, jika memikirkan nasibnya, biarpun telah berumur tua, masih harus keluar menangkap ikan sendiri. Ong Hoe Tjoe biarpun sangat pintar dan berbakti, tapi bagaimanapun ia sebagai seorang anak perempuan, tidak bisa meneruskan usaha ayahnya menangkap ikan. Maka kedua orang tuanya hanya mengharap-harapkan agar mereka dapat memungut seorang mantu yang dapat diandalkan.
Hari ini, baru saja si kakek nelayan mau menurunkan perahunya untuk menangkap ikan, mendadak, matanya telah dapat melihat seorang pemuda yang berumur kurang lebih enambelas tahun sedang mendatangi. Pemuda ini berparas cakap, alisnya seperti pedang, badannya sehat dan dadanya lebar. Ia mengaku bernama Koo San Djie yang mengatakan bahwa ia tidak berhasil menemukan familinya dan bersedia membantu menangkap ikan, tentu saja sambil menumpang meneduh.
Empe Ong yang melihat pemuda itu, dari kasihan menjadi suka kepadanya dan memang dia sedang membutuhkan seorang pembantu, maka sudah lantas melulusi permintaannya dan mengajak ke tengah danau.
Si pemuda yang bertenaga besar dan menguasai perahu, dalam sebentar saja telah memperoleh ikan yang banyak.
Ini hari pendapatan si ne!ayan tua telah bertambah beberapa kali lipat dari hari biasanya, bukan main senangnya si kakek nelayan yang dapat pembantu demikian bagusnya. Setelah mereka berdua kembali, belum pula ia sampai di pintu rumah, si kakek nelayan berteriak-teriak girang:
"Mamanya Hoe Tjoe, lihat aku telah mendapatkan seorang pembantu yang cakap..... ha...... ha......"
Dengan sebelah tangan masih menenteng keranjang ikan. Koo San Djie mengikutinya memasuki ruangan rumah yang kecil terbuat dari atap, disusul oleh munculnya Ong Hoe Tjoe ibu dan anak.
Si nenek yang melihat Koo San Djie yang gagah dan cakap, tentu saja menjadi suka kepadanya. Dengan menarik lengan bajunya, ia berkata:
"Kau datang dari mana? Seorang anak yang cakap.....! Masuklah ke dalam! Duduk dulu."
Terdengar pula si kakek menyelak:
"Apa tidak bisa bicara nanti? Telah seharian penuh kita belum beristirahat sama sekali. Lekas suruh Hoe Tjoe masak dan jangan lupa membeli arak, kini aku akan meminumnya sampai puas. Ha....... ha....... ha......"
Si kakek sampai lupa segala apa, bukan main girangnya hari itu.
Ong Hoe Tjoe yang menyembunyikan diri di belakang baju ibunya telah mengintip gerak geriknya si pemuda yang baru datang ini, ia lebih memperhatikan dari pada kedua orang tuanya, mukanya yang cakap dadanya yang lebar, matanya yang terang dan...... segala-galanya, tidak ada satu dari si pemuda yang tidak disukainya, ia telah memandangnya sedari tadi dengan mata tidak berkesip, ingatannya telah melayang-layang, jauh, sampai pun perkataan ayahnya, tidak terdengar sama sekali.
Waktu itu, Koo San Djie telah meletakkan keranjangnya, dengan menundukkan kepalanya mulai membuka gulungan kaki celana yang tadinya digulung ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...