Koo San Djie dengan tangan menyekal keras Pit Badak Dewa mulai memasuki rimba......
Seperti kabut tebal saja, asap putih mengepul di sana, enambelas penari jelita dengan memegang bermacam-macam tetabuhan sedang mengelilingi sepasang muda mudi.
Pay-hoa Kui-bo dengan memeluk phipe dan rambut riap-riapan sedang asyik duduk bersila di atas sebuah batu besar.
Di samping kiri kanannya terdapat empat anak yang memegang hiolo, dari hiolo-hiolo inilah keluar asap-asap putih tadi. Dengan bantuan angin asap-asap ini menjalar kemana-mana.
Dengan pandangan yang tajam Koo San Djie sudah dapat melihat sepasang muda mudi yang terkurung adalah Ong Sun Thay dan si Selendang Merah.
Dua orang ini dengan baju yang awut-awutan seperti orang yang baru mabuk saja. Terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya mereka tidak sadar sama sekali.
Koo San Djie menjadi marah melihat itu, kedua matanya seperti mau mengeluarkan api. Ia sudah bersedia hendak menerjangnya, mendadak, dari luar rimba di sebelahnya telah keluar seorang pemudi yang berpakaian bulu burung, dengan tangan menunjuk Pay-hoa Kui-bo berkata:
"Jika tidak segera menghentikan suara tabuhanmu itu, jangan salahkan aku yang akan membunuhmu."
Pay-hoa Kui-bo menjadi kaget, ia menyangka akan datangnya orang berkepandaian tinggi mau mencegahnya. Tapi sewaktu ia melihat, yang datang hanya seorang pemudi yang masih muda, dengan tidak terasa menjadi tertawa seram:
"Budak hina yang bernyali besar, kau juga berani menghalang-halangi pekerjaanku? Apa kau juga ingin merasai buah tanganku?"
Si pemudi berbaju burung ini menjadi gusar, tubuhnya mencelat ke atas, seperti alap-alap, ia menerkam ke arahnya Pay-hoa Kui-bo.
Tangan cengkeramannya si pemudi berbaju burung ini belum juga sampai atau senjata istimewanya telah mendahului menyambar muka Pay-hoa Kui-bo.
Pay-hoa Kui-bo tidak menyangka akan kegesitan si pemudi berbaju burung melebihi kilat datangnya. Mukanya hampir tersapu rusak oleh senjatanya sang lawan muda ini.
Terpaksa ia mengangkat tongkatnya menjaga kepala bagian atas dari sampokan senjata.
Tapi kegesitan si pemudi berbaju burung belum sampai di sini, tubuhnya berjumpalitan di udara, naik tinggi lagi, membuat satu putaran dan balik menerjun, tetap mengarah batok kepala orang.
Belum pernah Pay-hoa Kui-bo melihat orang dapat berjumpalitan di udara dengan tidak mempunyai pegangan suatu apa. Untuk menyingkir lagi sudah tidak mempunyai waktu, maka dengan terpaksa ia sudah menyerahkan nyawanya mengemplang.
Ia berbuat begini dengan maksud mati bersama-sama, tapi si pemudi mana mandah ditimpa tongkat musuh? Sambil mendongakkan badan, tangan kirinya menahan datangnya kemplangan, sedang tangan kanannya yang memegang kipas, menotok ke arah jalan darah Cie-tong-hiat.
Serangan ini dengan telak mengenakan tepat pada sasarannya, hingga dengan berteriak keras tubuhnya Pay-hoa Kui-bo sudah terpental dan jatuh tengkurap di tanah, dengan mulutnya mengeluarkan darah.
Sampai pada waktu itu Koo San Djie sudah dapat melihat dengan tegas, pemudi berbaju burung ini bukan lain adalah Ciecie Hoe Tjoe nya yang selalu menjadi kenang-kenangan.
Tidak disangka, selama perpisahan dalam setahun ini, kepandaiannya sudah menjadi sedemikian hebat. Tidak sampai dua jurus, ia sudah dapat membunuh Pay-hoa Kui-bo yang jahat telengas.
Karena saking girangnya, ia hanya dapat berseru:
"Ciecie Hoe Tjoe......"
Berbareng lompat menubruk dan memeluknya dengan kencang-kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...