Sewaktu Koo San Djie masuk ke dalam Makam Merpati, ia telah merasakan adanya perobahan di sekitarnya. Lembah yang tadinya tenang dan sepi ini mendadak seperti telah berubah menjadi seram dan aneh. Jalan ketjil yang penuh dengan tanaman kembang telah berubah di sekitar makam, kini telah ditanami oleh bermacam-macam tanaman yang seperti mengandung barisan tin.
Terhadap barisan tin ia tidak begitu mengerti, seperti Tjeng Tjeng yang mendapat warisan dari ayahnya mempunyai pengetahuan yang luas. Maka ia tidak berani sembarangan masuk ke dalam lembah.
Pertama dikelilinginya dahulu sekitar makam ini. Setelah diperhatikannya betul-betul, terlihat olehnya pada sebuah tempat terdapat kekosongan yang seperti telah dirusak orang, maka dengan cepat ia melompat masuk dari tempat kosong ini.
Lebih-lebih kaget lagi setelah ia dapat menyaksikan keadaan di dalam makam ini. Suatu pemandangan yang mengenaskan telah tertampak di depan matanya.
Sembilan orang yang menjabat ketua partai berbagai macam golongan yang pernah dilihatnya di kuil Siauw-lim, kini telah menggeletak semua di sini. Mereka telah terbunuh semuanya dalam keadaan yang menyedihkan sekali, tubuh mereka bergelimpangan dan saling tumpuk. Kematian mereka diduga terbunuh oleh satu orang. Jantung nadi mereka rata-rata terputus. Inilah terkena pukulan tenaga dalam yang sempurna. Kecuali Liu Djin Liong, sang supek, orang lain jarang mempunyai tenaga dalam yang sebesar ini.
Memang betul pada batu nama Makam Merpati ada tertulis juga dengan huruf kecil "hukuman mati bagi yang berani memasukinya". Biarpun batu nama ini kini telah pecah berantakan, tapi perkataan-perkataannya sudah diingat betul-betul olehnya pada pertama kali datang kemari. Sembilan orang ini berani masuk ke dalam Makam Merpati, tentulah sang supek yang membunuhnya
Koo San Djie sudah menjadi tidak suka akan tindak tanduk supeknya. Jika sekarang Liu Djin Liong berada di situ, tentu akan terbit keonaran. Maka dengan teliti ia sudah memeriksa ke seluruh makam.
Di antara sela-sela pintu dalam dari Makam Merpati terlihat sepotong kertas. Setelah dipungut dan dilihatnya ternyata kertas Tjeng Tjeng yang menaruhnya di mana ada tertulis:
"Koko San, aku pergi mencari ayah."
Biarpun tidak ada tanda tangan, tapi tulisan ini telah dikenalnya. Dan di dekat kertas ini ada pula sepotong kertas lainnya yang ternyata ada buah tangan dari Sastrawan Pan Pin dengan tanda tangannya dan Tiauw Tua berdua, tapi tidak ada terdapat tanda tangan Ong Hoe Tjoe. Di atas mana tertulis:
"Makam Merpati telah kemalingan. Kita orang pergi mencari malingnya. Setelah dapat melihat surat ini, lekas datang menyusul!"
Huruf-huruf ini ditulis dengan kasar, rupanya mereka terburu-buru sekali.
Dari kejadian-kejadian ini Koo San Djie telah membuat suatu perumpamaan:
Rombongan Tiauw Tua ini karena ada Tjeng Tjeng yang apal dengan keadaan jalanan dengan mudah telah dapat memasuki makam. Pertama mereka tentu menyuruh Tjeng Tjeng seorang diri masuk ke dalam makam mencari ayahnya, Tiauw Tua dan yang lainnya menunggu kabar di luar.
Tjeng Tjeng yang masuk ke dalam makam tidak dapat menemukan ayahnya, tapi mendapatkan tanda tulisan dari ayahnya yang mewartakan lenyapnya kitab Sari Pepatah Raja Woo. Maka dia keluar pula mewartakan tentang kejadian ini. Dia terburu-buru mencari ayahnya.
Sedangkan Tiauw Tua beramai tahu bahwa kitab Sari Pepatah Raja Woo dapat mengakibatkan keonaran yang besar, dengan tidak menunggu sampai datangnya Koo San Djie lagi sudah keluar makam untuk mengejar si pencuri, setelah meninggalkan kabar untuk Koo San Djie.
Kini ia memastikan sembilan orang ketua partai yang mati itu bukanlah terbunuh di tangan sang supek. Mereka datang sesudah Liu Djin Liong pergi meninggalkan lembah, jika tidak, tidak nanti mereka dapat masuk dengan semudah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembah Merpati - Chung Sin
FantasyCeritanya sederhana, tentang seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam men...