pernah ...

535 34 22
                                    

Dia tersenyum, pun aku. Kami saling bersitatap. Akankah selama berhari-hari dalam hitungan bulan dan tahun dia pernah -walaupun itu sekali- merindukanku? Meski harus kuakui dia hampir hilang dalam ingatan digerus oleh tawa dari lingkunganku yang membentuk perjamuan baru.

"Bagaimana dengan anak-anakmu?" tanyaku, untuk pertama kali perjumpaan ini bersuara setelah lama dimakan oleh kegugupan.

"Si bungsu tahun ini kuliahnya tamat," jawabnya dengan nada bangga.

Umumnya orang tua di muka bumi ini, tidak ada kebanggaan yang hakiki kecuali dapat melihat anak-anaknya mampu melewati fase-fase kehidupan. Ya, seperti dia yang bahagia dengan keberhasilan putranya –akan- menyandang gelar sarjana, dan putri buntutku yang bulan lalu baru saja dipersunting lelaki pujaan. Dua hal ini kemudian menghangatkan suasana kami. Cerita-cerita bahagia ini mampu menguraikan kecanggungan. Meski aku tahu kami sama-sama menutup rapat kisah dramatis yang menggelayut pada masing-masing kehidupan kami.

"Kau ingat tempat itu?" tunjuknya pada bangunan bertingkat dua yang terletak tepat di muka persimpangan jalan.

Aku mengangguk dengan mantap, dari bias senyum yang menggantung di bibirnya dapat disimpulkan bahwa sekarang kami berada dalam satu wilayah yang sama. Kenangan. Dan bangunan yang kini bersolek, jauh dari penampilan pertamanya yang hanya berbalutkan atap seng dan dinding kayu. Di tempat itu kami pernah saling bertukar tawa, berbagi nasi dalam satu piring juga berperang kata lantaran masalah remeh temeh. Keegoan masa muda memang kerap mendatangkan pertengkaran. Padahal bila dipikir-pikir hal itu bukanlah masalah yang mendasar.

"Janji kita ternyata tak berwujud," ucapnya sesal.

Ia membangunkan diri dari kursi, lalu melangkah dengan payah. Menghampiri salah seorang pramusaji. Ia diarahkan ke meja kasir. Cukup lama di sana. Permintaan yang mungkin sulit dipenuhi, tapi dengan kegigihan akhirnya ia tersenyum ke arahku mengacungkan dua jempol, lalu udara kedai ini dipenuhi suara Jamal Mirdad yang mendendangkan 'Yang Penting Happy'.

"Sejak kapan kamu suka lagu ini?" ajuku dengan pertanyaan ketika tubuhnya kembali dalam dekapan sofa.

"Tidak tahu kapan persisnya, mungkin sejak uban-uban ini mulai tumbuh," balasnya berbalutkan tawa yang terdengar ringkih.

Aku tersenyum menanggapi.

"Satu janji sudah lunas," katanya lagi. Wajah lega tergambar dari mimik kusut.

Lagu ini begitu populer pada masanya. Jaman yang mepertemukan kami, lewat kaset pita dendangan Jamal Mirdad berputar berulang-ulang kali. Dan dia sangat tidak menyukainya, sampai pada sebuah masalah ia melampiaskan dengan menghempaskan kaset itu. Lalu pada suatu waktu ia berjanji akan membelikan kaset itu lagi. Entahlah mungkin dia lupa, atau pun aku tak ingat lantaran banyaknya kesibukan. Dengan kesepakatan yang tidak disadari janji itu menguap.

Sama halnya dengan janji lainnya bahwa kelak kami akan membangun sebuah hubungan yang lebih jauh. Ikatan yang dinamakan dengan keluarga. Aku bahkan tak ingat kalau tidak adanya perjumpaan ini. Toh tetap saja anak-anakku atau anak-anaknya akan mementahkan keinginan masa muda kami itu.

Aku dan dia memang memiliki janji-janji, keinginan ambisi oleh darah muda lalu menguap bersama gerusan waktu dan dimakan oleh hasrat-hasrat kehidupan. Berserakan bersama lebih pentingnya cara mendapatkan sesuap nasi.

Senja merekah di kaki langit, menyisakan bercak-bercak jingga. Aku dan dia hanyalah dua lelaki yang pernah muda, pernah memiliki janji dan keinginan. Itu saja, tidak lebih. Pernah ....


Lelaki DALAM KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang