telinga kursi kayu

191 12 0
                                    

Tawa-tawa sumbang itu berasal dari rumput tandus juga pohon-pohon yang tak lagi lebat, setiap gelap datang mereka merumpi perihal kursi kayu. Senyum bermakna ganda  tersirat pada keadaan bilah kayu itu yang saban waktu ditinggalkan setelah pantat-pantat melepaskan letih. Mereka-mereka berasumsi bahwa ia adalah persinggahan, tidak memiliki daya manfaat lebih.

Padahal, mereka-mereka itu sendiri adalah definisi kesepian. Mengolah cerita dan menyudutkan kursi kayu hanya agar terlihat baik-baik saja, bukankah dengan membicarakan masalah benda lain membuat diri terlihat tak pernah disinggahi masalah. Sejatinya itu bentuk upaya menghibur diri dari sunyinya kesepian.

Mereka lupa, tak sekali pun kursi kayu menyalahkan pantat atau kaki manusia menjadikannya sebagai alas. Ia pun tak juga mengomel dengan prilaku manusia menyimpan kotoran di atasnya. Menurutnya memang begitu sifat manusia; terlihat hidup tapi  sesungguhnya sudah lama mati sejak keserakahan menganggap manusia dimuliakan Tuhan. Perihal manusia ini pun diaminkan kicauan bukit-bukit juga embusan angin pada air laut yang tak pernah bosan mendatangi pasir-pasir.

Kalau kursi kayu mau, bisa saja berceloteh tentang banyaknya hati menyinggahi, semisal perempuan cantik yang termenung sehabis aborsi, lelaki bertubuh kekar berjiwa pengecut karena kurap di pangkal kemaluannya, juga kemarin malam  tentang seorang bocah yang tak ingin lagi ibu dan bapaknya pulang. Ia sudah lama menjahit suaranya sendiri, benda yang dianggap mati ini memosisikan diri sebagai pendengar saja, sebab ia tahu di dunia yang merasa sudah dewasa ini tak lagi mampu menghadirkan pendengar yang baik, telinga yang benar-benar mau mendengar terlalu mahal, amat langka kalau tidak mau dibilang sudah punah.

Lelaki DALAM KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang