Di tempat pemberhentian ini. Berjubel manusia dengan rutinitas masing-masing, suara-suara bergemuruh. Dan pendengaranku tak jelas menangkap suara-suara itu. Lantaran, bunyi dari balik dadaku lebih hebat. Ini kegugupan yang luar biasa, bisa jadi kegugupan pertama semenjak Tuhan menghadirkanku di muka bumiNya ini.
Adalah perempuan berhijab yang mana pandangan matanya terhunjam ke ubin menjadi sebab musebab. Dan aku membeku dengan ransel yang menggantung di belakangku.
Kibasan angin yang datang entah dari mana menampar kain pembungkus tubuhnya. Melambai-lambai seolah memerintahkanku untuk lebih mendekat. Namun, kakiku malah tertanam di atas lantai ubin. Sungguh payah untuk dilangkahkan. Padahal keinginan yang bersarang di dalam hati kian menggebu, andai saja kehalalan itu sudah menjadi nasib kami, maka tubuh mungil ini tentu sudah berada dalam dekapanku.
Untuk pertama kali, setelah jeda waktu yang panjang ia memberanikan diri menatapku. Pertemuan manik mata inu mealhirkan gejolak di dalam darahku, persis seperti cumbuan listrik. Dan kian mematangkanku untuk terpana dalam pemandangan terindah.
Bandara ini memang tempat pemberhentian, tapi bukan berarti kami berhenti di sini. Dan aku harus menuntunnya untuk melihat lebih jauh, terutama perihal mengenaliku. Sebab bila hanya dengan sejumput pertemuan ini tidak akan cukup menjadi tolak ukur hubungan yang telah lama kami bingkai dalam kotak khayalan.
Keringat dingin yang menetes di pelipis mengingatkanku bahwa pertemuan ini nyata adanya. Lalu mengulurkan sebuah syarat, haruskan aku membeku lebih lama dari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki DALAM Kata
PoetryMereka, kalian atau pun kamu. Mungkin ada di sini. Dengarkan baik-baik ucapan lidah lelaki ini. Hati-hati dapat menimbulkan efek baper. Cover by Jefischa