Gerimis membungkus pelataran, aroma tembakau serta seduhan kopi dan teh memulangkan ingatanku. Perpaduan seperti ini pernah mengahangatkan pelukan udara Bandung yang membeku.
Kami duduk besejajar, segelas teh yang enggan dia lepaskan dari genggaman dan udara dipenuhi kopi dan pekat asap kretekku tidak membuatnya risi. Awal perjumpaan yang diniatkan jauh hari itu dibuka olehnya dengan isu panas politik di negeri ini. Aku menyimak sekadar menghargai topik yang tak ingin kumasuki lebih dalam. Terlebih aku tidak memiliki perbendaharaan ilmu untuk bidang tersebut. Aku terlihat bodoh jika harus berbicara panjang lebar pada perihal yang belum kupahami, ya persis dengan menulis banyak tapi tidak pernah mau membaca.
Suasana kembali menjadi milik kami sepenuhnya saat perbincangan berbelok; studi yang masih panjang, uang bulanan yang kerap habis di pertengahan juga rencana kami di ujung tahun; bermalam di salah satu gunung di daratan timur jawa.
Aku masih mengingat dengan jelas rautnya yang datar ketika waktu memisahkan kami dengan paksa. Gerimis tidak cukup mampu menahan punggungnya bergerak menjauhiku, sekaligus kepulangan yang memilukan bagiku, keluarga, barangkali juga kekasihnya yang saat itu jelas-jelas berselingkuh tapi masih dicintainya dengan utuh. Tuhan memiliki hak prerogatif, yang tak dapat diganggu gugat meski di mata manusia terlihat tidak adil, tidak terkecuali perihal mati muda untuk dia pria berhati dermawan yang pernah menjadikan aku kawan sekaligus lawan yang mana aku sedikit beruntung mampu memenangkan hati perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki DALAM Kata
PoetryMereka, kalian atau pun kamu. Mungkin ada di sini. Dengarkan baik-baik ucapan lidah lelaki ini. Hati-hati dapat menimbulkan efek baper. Cover by Jefischa