Teruntuk kamu yang selalu duduk di muka pintu

513 28 9
                                    

Banyak hal tak terduga yang kerap mendatangi kita, dan berbagai tanggapan  yang kemudian muncul mewakilkan warna hati. Entahlah aku tak bisa menebak ungkapan yang bagaimana saat kertas berisi perwakilanku ini sampai di tanganmu. Sesuatu yang tidak kamu kira sebelumnya, sebagaimana pertemuan kita yang biasa-biasa saja di matamu.

Sangat besar harapanku, kamu tidak melipat kertas ini lalu menempatkannya di kotak pengumpul kotoran. Sungguh aku bahagia, melewati batas definisi kebahagiaan yang kamu pahami; bila kamu memutuskan menandaskan tulisan ini sampai huruf terakhir. Apa aku terlihat berlebihan? Mungkin bagimu hal ini biasa saja yang tak perlu dibesar-besarkan, tapi bagiku dari hal yang sederhana ini malah menempatkanku terlihat luar biasa, tentu saja bila hal itu bertautan tentangmu.

Dari deretan awal kata di atas, atau bahkan saat matamu pertama kali menemukan secarik kertas ini, dan mendapatkan namaku yang berada di sampul, kamu sudah dapat menarik kesimpulan rahasia yang bersembunyi di dalam hatiku. Ya, isi kepalaku dipenuhi oleh namamu dan ingatanku selalu berada di setiap senyuman yang mungkin tak sengaja kamu suguhkan.

Tidak, tidak.  Kamu tidak perlu meminta maaf lantaran dengan tindakan kecilmu itu malah mehijrahkan perasaanku. Bukan salahmu. Kuakui dengan kesadaran penuh bahwa kamu mendapatkan tempat di hatiku, sebuah tempat yang semulanya lembap dan kosong, yang bahkan tak pernah kuduga dihuni oleh perempuan yang jaraknya selapis pagar dari rumahku. Bila kamu mampu melihat, maka kamu akan menemukan sebuah padang yang subur ditumbuhi tanaman cinta, layaknya rumput, meski tanpa asupan pupuk, tumbuh tanpa permisi.

Khayalanku berjalan melewati batasnya, yang kemudian mempermalukan diriku sendiri di depan dinding, langit-langit, dan juga lemari di kamarku. Mungkin mereka-mereka yang kusebut tadi setiap malamnya tertawa dalam bahasa mereka sendiri. Namamu menjadi familier di dinding, lemari yang jengah karena terus disesaki gambarmu, dan langit kamar mulai bosan menontonku yang saban hari stalking media sosialmu.

Lelaki pengecut! Begitu aku memaki diri sendiri. Upayaku hanya sebatas itu. Padahal apa susahnya mampir di rumahmu yang hanya berjarak tiga langkah, minta disuguhkan kopi manis atau segelas air tawar. Bukankah dari hal-hal sederhana itu lambat laun mampu menggerakan hatimu untuk sedikit saja menyadari keberadaanku. Tapi, sungguh! Aku tak mampu melakukannya. Lidahku mendadak kelu untuk sekadar menyapa, dan langkahku lumpuh dalam bersilaturahmi. Ya, seolah adanya sebuah kekuatan kasat mata yang menahan dan menjegalku.

Di ujung pengakuan ini, aku meminta sedikit kebesaran hatimu. Yang dengan lancang melewati jari-jari anak gadis mungilmu untuk mengantarkan kertas ini. Aku juga tidak bermaksud mengambil alih tempat sebagai bapak untuknya, apalagi memaksamu untuk mengusir pria yang jiwanya masih hidup dalam hatimu. Aku dapat menerima keadaanmu yang belum mampu menerima kehadiran orang lain setelah dia dipanggil pulang oleh Illahi.

Terima kasih atas waktu yang kamu sisihkan membaca deretan kalimat ini, perasaan yang bersemayam dalam diriku biarlah tetap menjadi hakku, bukan tak bermaksud membagi, sebab kutahu pintu yang selalu kamu jaga dengan duduk di tengah-tengahnya adalah isyarat; belum membolehkan lelaki lain masuk lebih dalam.

Dari lelaki yang selau menyebut namamu di setiap ujung malam.

Lelaki DALAM KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang