11. Kecelakaan

681 35 2
                                    

Bobby mengejar Yumi yang terus berlari meninggalkan lokasi kejadian itu.

"Yum,"

"Yumi..."

"Yumi tunggu!"

Sia-sia kejaran Bobby. Yumi sudah naik ke dalam taxiHatinya hancur, sangat hancur. Baru saja dia merencanakan untuk menembak Yumi di restoran itu, takdir berkata lain dan takdir membuat kesalahan untuk hubungan mereka.

Yumi memejamkan matanya untuk menghentikan air matanya yang dari tadi ingin keluar.

Mungkin ini yang mau lo tunjukin ke gue. Gue nyempetin kesini demi lo, gue gak tega buat gak dateng kesini. Demi lo dan Tapi gue juga rela kok buat sahabat gue.

Akhirnya tanpa disadari air mata Yumi sudah meluap membanjiri pipinya.

Gue nangis? Kenapa? Apa mungkin gue jatuh cinta?

Baru pertama kalinya Yumi menangisi seorang lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta dan di jatuhkan kembali.

Kini, Yumi sudah berada di dalam kamarnya. Emosi Yumi dikeluarkan dengan cara menangis, mengeluarkan semua kesedihannya.

Tok, tok, tok,...

"Siapa?" Yumi menghapus air matanya untuk segera membuka pintu.

Saat dibuka ternyata Bobby lah yang datang, mengejar cintanya tanpa memikirkan usiran yang akan Yumi buat. Yumi segera menutup pintu kamarnya lagi.

"Yumi, gue mau jelasin semuanya!"

"Jelasin apa lagi sih kak? Gue gak kenapa-kenapa. Lo gak usah peduliin gue lagi deh!"

"Tapi Yum..." belum selesai Bobby bicara sudah dipotong oleh Yumi.

"Gue bilang gue gak kenapa-kenapa! Lo balik lagi aja susul Cindy di sana, dia pasti nunggu lo! Dia suka sama lo udah lama kak!"

Bobby terkejut dengan penjelasan Yumi. Tapi kalimat itu dia tepiskan. Dia tidak peduli tentang Cindy. Dia hanya peduli untuk Yumi saja, bukan yang lain. Bobby mencintai Yumi, bukan Cindy.

"Gue sayangnya sama lo Yum!"

"TAPI GUE GAK PERNAH SAYANG LO!" bentak Yumi sambil menahan sakit dengan apa yang telah diucapkan olehnya sendiri. Entah mengapa Yumi bisa mengeluarkan kata-kata itu, pasti sangat pasti bila Bobby sakit hati dengan kalimat yang baru saja Yumi keluarkan.

Bobby diam membeku. Dengan perasaan kecewa Bobby keluar dari rumah Yumi. Rasanya kata-kata seperti itu tidak akan orang lain katakan selain Yumi, apalagi dengan bentakan tegasnya yang bisa jadi itu memang apa yang Yumi rasakan, tidak ada perasaan sama sekali untuk Bobby.

Hening. Sudah tidak terdengar lagi suara Bobby di balik pintu kamarnya maupun di dalam rumahnya. Yumi membalikkan tubuhnya dan menyederkan tubuhnya ke pintu. Kakinya yang lemas akhirnya menjatuhkan tubuhnya sekarang ke posisi duduk.

"Gue gak sayang sama lo kak. Gue berusaha supaya gak sayang lagi ke lo! Gue rela kak, sangat rela!"

Yumi menangisi Bobby lagi. Menangis lebih parah dibanding tangisan sebelum Bobby datang. Air matanya mengalir sangat-sangat deras membanjiri pipinya. Ya mungkin ini lebay, tapi soal hati siapa yang bisa menahan, siapa juga yang bisa membohongi perasaan walaupun kalimat yang diucapkan tidak sesuai dengan hati yang merasakan.

"Iya gue harus tahan perasaan gue, gue harus ilangin! gak boleh ada perasaan lagi ke dia walaupun SULIT!" Yumi bicara dengan optimis seperti menyemangati dirinya sendiri untuk menahan air matanya agar tidak keluar kembali.

---

Bobby mengendarai mobilnya dengan sangat cepat, terus menelusuri jalanan kota yang tidak pernah sepi.

'TAPI GUE GAK PERNAH SAYANG LO!'

Kata-kata itu saat ini terbayang dipikiran Bobby. Tidak mengerti apa yang harus dilakukannya sekarang. Terus dan terus kata-kata itu tidak dapat dihapus oleh ingatannya. Fokus menyetirnya sesekali menghilang, hampir saja dia menabrak mobil yang berada di depannya dan mengerem mendadak. Di dalam mobil itu Bobby kesal sendiri memukul setir mobilnya, mengingat ketelodarannya dalam menyetir, dan mengapa hanya kalimat itu.
Kalimat itu.

Bobby membanting setir mobil karena kali ini dia hampir menabrak orang yang sedang menyebrang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.

---

Amel berlari di lorong rumah sakit menuju UGD. Air matanya mulai turun. Kakak yang dia anggap seperti ayahnya sendiri sekarang sedang tidak sadarkan diri. Ya, karna kecelakaan itu. Adiknya sudah menunggu satu jam. Keadaan Andin yang semakin memburuk membuat Amel enggan untuk memberitahu Andin tentang kejadian ini.

Gue ngerti. Ini semua pasti gara-gara Yumi, ini pasti yang bikin kakak kecelakaan.

"Mel, gimana kakak lo Mel?" suara yang dia kenal itu datang di balik isak tangis Amel. Baru saja muncul sosok dia dalam ingatannya, sekarang wanita itu sudah berada di hadapannya dan menyentuh pundak Amel dengan lembut.

"Ngapain lo ke sini Yum? Ini pasti gara-gara lo kan?"

"Maaf Mel, lo gak tau gimana ceritanya tadi. Lo gak di situ Mel. Please jangan salah paham ke gue." tangis Yumi sambil berusaha ingin menjelaskan semuanya namun dicegah oleh Amel.

"Gak! lo gak usah ceritain apa-apa ke gue. Mungkin kakak gue juga gak bakal mau liat muka lo lagi!" Setelah mengucapkan kalimat itu Amel pun langsung meninggalkan Yumi dalam keadaan menangis dan masuk ke dalam ruang UGD.

Wajar dia sangat emosi. Walaupun itu sahabatnya sekalipun, tapi tetap kakaknya yang selalu menjaganya adalah orang yang paling dia khawatirkan.

"Dok, gimana kakak saya dok?"

"Kakak kamu baru saja mengalami pendarahan dan sekarang belum sadarkan diri. Semoga sebentar lagi dia sadar," Dokter melanjutkan jalannya.

"Tapi dok, kakak saya pasti sadar kan?"

"Pasti!" kata dokter sambil tersenyum memastikan supaya Amel tidak terlalu khawatir.

"Sus, ada pasien yang bernama Bobby? Bobby Prasetyo?"

Amel mendengar suara tidak asing itu dari balik tirai dan membuka tirai tersebut untuk melihat dan mengetahui siapa sebenarnya pemilik suara itu. Ternyata suara itu suara Cindy.

"Oh itu." tunjuk suster pas ke arah belakang tubuh Cindy. Cindy memeluk Amel yang ternyata berada di belakangnya itu.

"Mel, kak Bobby kenapa?" Cindy melepas pelukannya dan menghampiri Bobby yang sedang terbaring tak sadarkan diri.

"Gue gak tau Cin. Gue gak tau harus apa sekarang. Semua pasti karna Yumi Cin, gue tau pasti Yumi!" Dengan ringannya bibir Amel menyalahkan salah sat sahabatnya itu.

Cindy memeluk Amel dan mengusap punggung Amel. Wajah Cindy berubah cemas mendengar jawaban Amel seperti itu.

"Sabar Mel!" kata Cindy menenangkan dan melepaskan pelukannya.

"Gue ke toilet dulu ya. Pasti nanti gue bakal balik lagi."

Amel mengangguk pelan.

Why Always You? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang