Happy reading
***
Fandy berlarian menuruni tangga sambil menggerutu di sepanjang langkah.
Ini adalah hari liburnya, skors yang kepala sekolah jatuhkan terhadap dirinya masih berlaku hingga hari ini, dan seharusnya Fandy berangkat besok pagi.
Tapi entah badai tornado atau angin muson apa yang pagi ini telah menerpanya, hingga Aldo menyuruhnya datang ke sekolah.
"Bi, kunci Fandy dimana ya?" Lelaki itu berteriak-teriak sambil mengobrak-abrik lemari di ruang tengah.
"Mobil Aden apa mobil rumah? Mungkin ada di kamar den, bibi tidak melihatnya." Jawab seorang wanita paruh baya yang sudah mengurus Fandy sejak kecil.
Sebuah benda di sakunya bergetar, Fandy mengulurkan tangannya meraih ponsel.
Alldo is calling
Fandy berdecak kesal, si Cina Jawa itu selalu tidak sabaran.
Apa lagi, gue mau jalan lagi cari konci, lo tau diri dong udah nyuruh berangkat, maksa, sekarang ngatur.
Mangkannya konci jangan dimakan bego.
Siapa yang makan kunci cengo. Kalo oon ya oon aja jangan oon, oon banget. Gue mau cari taxi.
Buruan.
Sabar njay, lo kira gue super dede.
Nah lo kan adeknye.
Nah lo yang bikin.
Fandy segera menutup komunikasinya secara sepihak dengan Aldo, lama-lama stress jika menghadapi lelaki stupid semacam Aldo.
Gerbang SMA Garuda sudah terlihat, tulisan itu terpampang di gardu setinggi 5 meter yang megah, sebuah sekolah favorit nan elit yang terletak tak jauh dari rumah Fandy. Sekolah yang berisikan mahluk genius, tapi entah melalui cara apa Fandy bisa masuk ke sekolah ini. Sogokan? Bukan!
Fandy melemparkan tasnya lewat pagar, kemudian meninggikan celana ketatnya. Dia tidak mau calana satu-satunya ini robek gara-gara kecangkol sesuatu saat memanjat pagar.
Dia sudah tidak mempunyai persediaan stok celana lagi karena semua celananya sudah disita Pak Virdaus guru BK, Fandy sendiri tidak tau apa alasan yang akurat kenapa celananya selalu disita. Guru BKnya memang aneh, selalu menyita celana ketat, rok, kaus kaki dan apa lagi itu padahal mereka jelas mampu membelinya tanpa harus menyita.
Entahlah Fandy tidak mau mengambil pusing, lagipula dia bisa membelinya lagi bahkan sangat bisa, yang merepotkan itu ketika Fandy harus mengecilkan celana itu lagi. Dan pasti akan ditanyai, Mengapa beli celana terus? Yang kemarin udah dibeli kemana? Dijual lagi.
Fandy melompati pagar dengan mulus. Rasanya Fandy sudah hapal masalah lompat-lompat pagar sekolah. Sebenarnya bisa saja dia meminta satpam membuka gerbang tapi menurutnya terlalu merepotkan.
"Heh, heh anak kingkong berhenti. Copot sepatunya!"
Cegah Pak Virdaus sambil melemparkan pelototannya begitu Fandy muncul di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRESTIGE
Casuale#495 dalam Teenfic 29/02/2018 #312 dalam Random 11/06/2018 Fan, gue sama sekali gak punya keinginan untuk merasakan sakit hati. Tapi entah mengapa semua sikap lo membuat hati gue berkenalan dengan perih. Gue pengen bilang sesuatu, ini tentang kita...