4

5.6K 508 29
                                    

"Ro! Gak mampir basecamp?" Raka berseru pada Rome ketika lelaki itu hendak menyalakan mesin motornya.

Rome yang sudah mengenakan helm menggeleng, "Nggak. Gua mau langsung pulang, capek."

"Ya elah, Ro. Kok lo jadi jarang maen gini, dah? Kemaren-kemaren juga lo absen nongkrong," Vigo menimpali. "Ada masalah sama bocah?"

Rome hanya tersenyum, kebiasaannya jika kalah debat. Ia menggeleng pelan. "Nggak ada, kok. Lagi males aja. Duluan, ya!" Rome menaiki motornya, kemudian menyalakan mesinnya, bersiap melaju.

"Eits, tunggu dulu!" Dean menahan motor Rome dengan cara menggenggam besi jok belakangnya agar ia tidak pergi.

"Apaan sih, Yan? Gua mau pulang, Curut," protes Rome sembari menoleh ke belakang, di mana terdapat Dean dan tangan nistanya yang mencengkeram besi jok belakang motornya. "Awas, ah, tangan lu!"

Dean tersenyum mengerikan (bagi Rome). "Gimana kalo kita maen ke rumah lo, Ro? Kita udah hampir tiga tahun temenan, masa sama sekali gak pernah diajak ke rumah lo?" Dean berkata sok asyik sambil berjalan mendekati Rome, lantas merangkul bahunya.

"Naaahh ... cakep!"

"Bener juga. Gaslah."

"Yok, dah, motor gua udah panas ini."

Rome terdiam beberapa saat, menatap wajah antusias sahabat-sahabatnya, membiarkan Dean mengguncang-guncang bahunya. Memang, sejak berteman dengan mereka, Rome sama sekali belum pernah mengajak mereka berempat main atau sekadar mampir ke rumahnya. Dan setiap kali ada yang mengajak atau meminta untuk berkunjung ke rumahnya, Rome selalu beralasan bahwa rumahnya tak nyamanlah, sedang ada saudaranya yang berkunjunglah, tidak ada makanan di rumahnyalah, dan lain sebagainya.

"Gak boleh lagi, Ro?" Raka membuyarkan lamunan Rome. Rome menatap Raka yang memelas—ekspresi wajah andalannya—lalu beralih ke Vigo, Dean, dan Alvin yang ternyata sama memelasnya. Rome menelan liurnya. Keempat sahabat laknatnya itu tahu benar bagaimana cara untuk meluluhkan hati dan pertahanannya.

'Duh, gimana ya? Kasian juga mereka. Hmmm....' Rome terus berpikir, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di rumahnya nanti jika seandainya keempat sahabatnya berkunjung ke sana.

"Ayolah, Ro ... kita berempat kan belom pernah ada yang maen ke rumah lo," bujuk Alvin. "Penasaran, nih, gak ada makanan kaga ngapa, dah, yang penting ada tempat buat WIFI-an sama tidur-tiduran."

"Tau lu, Ro. Mumpung gua lagi free, nih, gak jadi jalan sama Sherlyn." Vigo ikut-ikutan mengompori. "Tai emang si Piglet, malah jalan sama Kin-Kin."

"Boleh gak, Ro? Emang rumah lo kenapa, sih? Sempit? Kalo sempit, si Alvin suruh duduk di luar aja," celetuk Dean.

Alvin langsung menempeleng kepala Dean. "Lu diem, deh."

"Ro ...?" Raka menatap Rome, tidak memedulikan Dean dan Alvin yang kini saling toyor-toyoran.

Rome mengalihkan pandangannya sejenak, sebelum akhirnya menatap mereka lagi seraya mengangguk dan berkata, "Oke. Ya udah, ayo."

"Yeeesss!!!"

***

'Duh, kalo mama sama papa tiba-tiba pulang gimana, ya? Belom lagi kalo masing-masing dari mereka bawa perempuan atau laki-laki lain. Nanti ni empat curut bingung lagi orang tua gua yang mana. Terus kalo mama ngusir mereka, gimana? Kalo akhirnya mereka tau rahasia keluarga gua dan segalanya tentang gua, gimana?'

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, hanya itu yang ada di pikiran Rome, berkecamuk tak beraturan. Hingga tak sadar, ia sudah berada tepat di depan gerbang rumahnya yang tinggi menjulang. Vigo, Raka, Dean, dan Alvin mendongak bersamaan menatap gerbang rumah Rome yang tinggi-besar, berwarna cokelat tua, dan terlihat sangat kokoh itu.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang