40

3.3K 295 19
                                    

Semenjak kejadian hari itu, esoknya dan dua hari setelahnya Rome tidak masuk sekolah. Tanpa kabar. Hal ini tentu membuat Rava, Vigo, Raka, Dean, dan Alvin pada khususnya khawatir sekaligus penasaran, bahkan Sherlyn dan Kinta juga. Wali kelas mereka sudah beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon kedua orangtuanya, namun tidak ada yang aktif. Rava, Vigo, Raka, Dean, Alvin, Sherlyn, Kinta, dan beberapa teman-teman sekelas mereka yang lain pun berkali-kali bergantian mencoba menghubungi Rome, namun tidak ada balasan.

Seperti hari Jumat ini. Setelah pulang sekolah dan melaksanakan salat Jumat berjamaah di masjid sekolah bagi yang muslim, Vigo, Raka, Dean, dan Alvin kembali ke kelas mereka, mendiskusikan Rome.

"Gimana, Go?" tanya Raka, harap-harap cemas.

Vigo menatap layar ponselnya dengan wajah kecewa. "Masih gak aktif, Ka. Keknya si Rome beneran nonaktifin hp-nya." Raka menghela napas lelah, begitu pula Dean dan Alvin yang langsung mengalihkan perhatian mereka.

Rava yang saat itu masih ada di kelas menatap mereka, diam-diam menguping pembicaraannya. Sebenarnya hari ini ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Rome, memastikan keadaannya. Namun, ia berpikir kembali, apakah ia bisa ke sana seorang diri? Agak tidak memungkinkan, kecuali ia benar-benar nekat. Memang sih sudah beberapa kali ia pergi ke rumah Rome seorang diri — sampai menyusup segala bahkan — namun, entah mengapa untuk sekarang ia merasa tidak yakin.

"Kita samperin aja yok ke rumahnya!" seru Dean, terkesan tidak sabar.

"Nah, bener tuh. Gue gak tenang dah kalo kek gini," timpal Alvin.

Kedua mata Rava terbelalak. Ia memutar otaknya dengan cepat, kemudian mendekati keempat lelaki itu dan memotong percakapan mereka, membuat atensi keempatnya teralihkan padanya. "Ehm, lo semua mau ke rumah Rome ya? Gue ... boleh ikut gak? Soalnya gue sekalian mau ... ngembaliin jas punya Rome yang dia pinjemin ke gue waktu prom, ada di tas gue."

Keempat lelaki itu saling bertatapan, nampak berdiskusi lewat tatapan mata, hingga akhirnya Vigo angkat suara. "Titipin ke kita aja jasnya."

Glek.

Rava menelan liurnya. Ia kembali memutar otaknya, mencari-cari alasan yang logis agar ia bisa ikut bersama mereka ke rumah Rome. "G-gue—"

"Ya udah sih Go dia ajak aja, gapapa. Biar gue yang boncengin nanti kalo lo gak mau," Raka memotong ucapan Rava. Hal itu membuat Rava berterima kasih tak henti-henti kepada Raka dalam hati. "Lagian Rava kan lumayan deket sama Rome. Lo khawatir juga ya sama keadaannya Rome, Rav?"

Rava terdiam mendengar pertanyaan Raka. Raut wajah anak itu terlihat serius, bukan menggodanya seperti biasa. Rava mengangguk pelan.

"Ya udah, berangkat sekarang aja yuk!" ajak Dean tak sabaran. Entah mengapa ia terlihat sangat gelisah sejak tadi. Tentu saja, ia khawatir dengan keadaan Rome karena ia tahu hal yang lebih penting dari sekedar kabar Rome sekarang. Sama seperti Rava.

***

Rava turun dari boncengan motor Raka dengan perlahan. Pandangan kelima remaja itu tertuju ke rumah megah Rome yang entah mengapa terlihat sangat suram, seperti tidak ada kehidupan.

"Gerbangnya dikunci?" tanya Alvin, entah ditujukan kepada siapa.

Rava berinisiatif menghampiri gerbang rumah Rome, memeriksanya. Tak lama, ia menatap Vigo, Raka, Dean, dan Alvin yang nampak menunggunya dengan harap-harap cemas. "Gak dikunci," ujar Rava, sedikit berseru. Ia pun membuka pintu gerbang rumah Rome dengan hati-hati dengan perasaan bingung. Ke mana satpam yang biasanya berjaga di pos kecil dekat pintu gerbang rumah Rome? Bahkan posnya saja terlihat berantakan, seperti telah ditinggalkan berhari-hari.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang