"Gue udah tau kalo Rome ... punya kebiasaan self-harming, cutting, apalah itu segala macem, secara nggak sengaja."
"Bajingan!" Vigo hampir-hampir meninju wajah Dean setelah Dean mengatakan hal tersebut. Rava yang juga terkejut karena ternyata Dean juga mengetahui fakta itu — tetapi lebih terkejut lagi melihat Vigo yang tiba-tiba emosi — hanya dapat menutup mulut dengan kedua tangannya, menahan diri untuk tidak menjerit.
"Go, Go! Udah, Go! Ini rumah sakit! Sadar, ini bukan waktu yang tepat buat ngeluarin emosi lo!" suara Raka nampak tertahan, menahan tubuh Vigo agar lelaki itu tidak menyerang Dean yang mundur selangkah, ngeri melihat Vigo yang emosi. Sementara itu, Alvin hanya dapat terbelalak tak percaya, seakan-akan ia baru saja mendengar sesuatu yang paling tidak masuk akal sedunia.
"Sejak kapan," napas Vigo memburu saat mengatakannya. Kedua matanya yang setajam elang menatap Dean nyalang. "Sejak kapan lo tau tentang ini, hah?!"
Dean mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap mata Vigo. "S-sejak ... beberapa hari sebelum prom. Dia kabur dari rumah dan gue ketemu dia gak jauh dari Komplek Griya Agung, jalan sendirian. Terus gue ngajak dia mampir, dan gue tanya kenapa malem-malem dia masih di luar, jalan kaki lagi. Dia bilang ... ada masalah di rumahnya. Gue gak nanya lebih lanjut karea mood dia waktu itu keliatan gak bagus. Akhirnya gue nyuruh dia untuk ganti baju, dan gue gak sengaja liat luka-lukanya. Dia minta ke gue untuk rahasiain ini dari kalian, karena dia bilang dia yang akan ngomong sendiri nantinya ke kalian. Dan sebenernya, alesan dia berhari-hari nginep di rumah gue waktu itu ya karena dia kabur dari rumah. Sorry."
Rava mengerjap. Apa? Komplek Griya Agung? Itu komplek perumahannya! Berarti malam itu, setelah mereka berdua berjalan-jalan ke pasar malam ... Rome tidak pulang ke rumahnya? Rome berbohong padanya?
"Sorry? Lo pikir dengan lo minta maaf semuanya bakal baik-baik aja, hah?" Vigo nampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dean, memutus bayangan Rava tentang kejadian malam itu.
Raka dan Alvin hanya diam, menatap Dean dengan tatapan kecewa. Keadaan hening selama beberapa saat, meninggalkan suara dari mesin elektrokardiogram yang khas.
"Lo anggep kita apaan sih, Yan? Bro, Rome hampir mati karena itu! Lo tau apa yang ada di pikiran gue pas ngeliat dia kayak gini? Gue sempet ngira dia bakal mati, tapi ternyata nggak dan gue bersyukur akan hal itu. Tapi lo liat lukanya, hah? Lo denger kan apa yang tadi dokter bilang? Lukanya hampir motong arterinya, Yan.
"Dan gue ngerasa, dia nunggu kita. Dia nunggu kita untuk nolong dia. Dia butuh kita. Dia antara hidup sama mati, Yan. Gue pikir dia bener-bener mau mati, mau nyerah, capek sama semuanya. Tapi dia sadar karena dia masih punya kita. Bagi gue alesan itu cukup kuat buat ngebuktiin kalo pada akhirnya Rome nggak bener-bener mau pergi. Tapi apa? Kita gak ada di sana pas dia butuh kita!" Vigo menunjuk-nunjuk Rome dengan berapi-api, melimpahkan semua emosinya dengan tertahan karena ia masih tahu diri, ini rumah sakit.
Dan entah mengapa, kata-kata Vigo seakan-akan memukul Rava dengan keras, membuatnya pening seketika. Air mata itu terus menetes. Rasa bersalah menggerogoti dirinya. 'Bener,' ucap Rava dalam hati. 'Kata-kata Vigo bener. Kita sebagai temen-temen deketnya Rome bahkan nggak ada di sampingnya pas dia butuh.'
"Rome sendiri Go yang minta ke gue untuk rahasiain ini! Gue udah hampir bocorin ke kalian, tapi Rome bilang ke gue abis prom dia bakal bilang sejujurnya ke kalian!" Dean berusaha membela dirinya. Entah mengapa ia merasa kecil sekarang dilempari tatapan tajam ketiga sahabatnya. Sementara Rava hanya menunduk, menangis dalam diam.
"Dan dia gak bilang apa-apa, Yan," desis Vigo. "Lo gak punya otak? Logika lo pake dong! Orang yang kena mental illness biasanya sulit buat berbagi ke yang laen, termasuk sahabat-sahabatnya. Harusnya kalo lo tau, lo kasih tau gue, Raka, sama Alvin, jadi mungkin kita bisa support dan nolong dia lebih awal semaksimal yang kita bisa sehingga kejadian kek gini tuh gak perlu terjadi. Lo kira Rome sebodoh itu buat blak-blakan bilang kalo selama ini dia cutting? Depresi? Tertekan? Dan lebih parahnya lagi, dia ngonsumsi obat antidepresan ngelebihin dosis dokter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...