Prolog

18.4K 903 5
                                    

"Saya gak tau apa yang sebenernya saya rasain."

Suara jam dinding yang menenangkan namun terasa menegangkan itu menjadi pendengar dari berbagai masalah hidup orang-orang yang pernah datang ke sana. Ia seolah-olah menjadi saksi bisu dari seluruh kejadian yang pernah terjadi di ruangan itu. Seperti di sore hari yang mendung ini, jam dinding berbentuk bulat dengan warna silver itu kembali menjadi "penguping" yang baik.

"Saya ngerasa kosong. Kayak ada yang hilang dari dalam diri saya. Saya kira saya udah membaik sejak dua bulan yang lalu, tapi nyatanya nggak. Saya harus ngerasain ini lagi. Saya benar-benar gak ada gairah untuk melakukan apa-apa. Saya capek. Hanya itu. Capek."

Pemuda itu terus berbicara sembari menunduk dan meremas jari-jemarinya dengan gelisah. Ia menggeleng lemah. "Saya nggak pernah bisa tidur tenang tiap malam."

Dan wanita paruh baya berambut sebahu yang mengenakan blus biru cerah itu masih diam mendengarkan, sama seperti sang jam dinding.

"I think it hurts me more than before." Si pemuda semakin menunduk. Kali ini, ia meremas rambutnya erat dengan kedua tangan, berharap sakit di kepalanya berkurang. Perlahan, bulir bening itu jatuh dari kedua matanya. "I wish I could die everytime those negative thoughts hit me so hard. Saya gak kuat, Dok. Saya cuma mau hidup tenang, saya cuma mau mereka berhenti bersikap seperti itu, saya cuma mau ngerasain gimana rasanya jadi 'manusia' dan 'anak' sehari aja. Kenapa saya gak bisa hidup 'normal' kayak remaja lainnya? Apa saya bener-bener ada? Saya ngerasa, hidup saya bukan punya saya. Saya bener-bener capek, Dok."

Pemuda itu menurunkan kedua lengannya, menatap kedua lengannya itu yang bergetar dengan pandangan nanar. "I really want to stop. Tapi ... gak ada cara lain yang bisa bikin saya tenang. Selalu berakhir begini tiap kali saya diserang kepanikan atau tertekan. Dokter, apa ada obat untuk 'sembuhin' ini semua tanpa harus kambuh lagi? Apa saya udah bener-bener gila sekarang?"

Kedua mata si pemuda yang berkaca-kaca itu menatap tepat di kedua mata si wanita paruh baya. Pandangan yang penuh dengan keputusasaan yang nyata.

***

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang