"Rava, bikinin Rome minum dulu dong, Neng. Masa temen kamu sendiri dianggurin gitu di ruang tamu? Gak sopan, ah."
Sayup-sayup Rome bisa mendengar percakapan antara Rava dan ibunya tak jauh dari tempatnya duduk di sofa ruang tamu. Rava yang saat itu hampir memasuki kamarnya langsung menghentikan langkahnya. Rome jadi tidak enak hati. Rava sepertinya tidak nyaman dengan keberadaannya di sini akibat pembicaraan serius mereka tadi.
"Mama aja yang bikinin dia minum, kan Mama yang minta dia mampir dulu ke sini buat makan malem bareng. Jam makan malem aja masih dua jam lagi." Terdengar suara Rava yang menjawab perkataan ibunya.
Rome memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar. Ia menatap sekelilingnya. Rumah Rava tidak terlalu besar dan bergaya minimalis, namun nyaman. Perabotannya tersimpan secara rapi. Persis seperti rumah-rumah bergaya retro yang sederhana dan memberikan suasana hangat.
"Dia temen kamu, lho. Sana, bikinin minum cepet! Kamu mau Mama laporin papa soal sikap kamu yang kayak gini, hm?"
'Waduh, diancem. Papanya galak gak ya?' batin Rome. Ia memang belum bertemu dengan ayahnya Rava. Beliau sedang mandi kata Martha.
Terdengar desahan berat Rava. Ia melempar tasnya ke ranjang kamarnya, lantas menutup pintu kamarnya kembali dan pergi menuju dapur. Martha tersenyum puas.
***
Rava mengaduk es sirup dingin milik Rome, kemudian meletakkan gelasnya di atas nampan. Ia berjalan menuju ruang tamu. Sebelum memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti mendengar suara tawa Nabilla, adik perempuannya yang baru berumur lima tahun. Kedua matanya menangkap sosok Nabilla yang sedang bergelayutan dengan manja di pangkuan Rome yang tersenyum lebar ke arahnya, kemudian mencubiti kedua pipi adiknya itu. Hati Rava menghangat seketika, entah mengapa.
"Billa umurnya berapa?" tanya Rome dengan lembut. Sepertinya mereka sudah berkenalan ketika Rava masih berada di dapur.
"Lima tahun, Kakak," jawab Nabilla dengan suara imutnya.
"Kalo lima, jarinya gimana?" tanya Rome lagi, sembari mengangkat kelima jarinya, kemudian menggerak-gerakkannya untuk mengecoh Nabilla.
"Eum...." Nabilla terdiam, kemudian menghentikan pergerakan jari-jemari Rome. "Kayak gini, Kak Lo. Satu...." Nabilla menutup jari kelingking Rome yang sebelumnya kelima jarinya terbuka lebar. Rome tersenyum, membiarkan Nabilla memainkan jarinya. "Dua...." Jari manis Rome tertutup. "Tiga ... tiga ... tiga...." Kata-kata Nabilla terhenti.
Rome terkekeh. "Habis tiga berapa?"
"Eum ... empat!" pekik Nabilla. Rome tertawa renyah, membiarkan Nabilla melanjutkan hitungannya. Ia menutup jari telunjuk Rome. "Empat ... lima! Yeeaaayy!!!" Nabilla berseru kegirangan, bertepuk tangan heboh.
Rome ikut tertawa. Gemas sekali ia dengan anak kecil di pangkuannya ini. Ia mengusap puncak kepala Nabilla dengan penuh kasih sayang. "Pinter.... Nabilla udah sekolah belum? Kelas berapa?"
"Billa masih TK, Kak Lo. Sekolahnya di sanaaa! Banyak mainannya," jawab Nabilla, menunjuk entah ke mana. Rome sedikit menjauhkan wajahnya agar tidak terkena jari kecilnya Nabilla.
"Masih TK? Wah, kok udah sepintar ini sih? Hehehe."
"Hitung lagi, Kak Lo! Hitung lagi!"
Rava menggeleng pelan, ia sudah kembali ke dalam kesadarannya. Tadi ia sempat melamun menatap interaksi antara adiknya dan Rome. Mereka terlihat akrab sekali. Rava melanjutkan langkahnya, mendekati mereka dan meletakkan nampan serta gelasnya tepat di hadapan Rome. Rome dan Nabilla yang tadinya sedang asyik bercanda sama-sama menoleh. Rome tersenyum menatapnya. "Diminum, Ro," tawar Rava pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...