Rava menatap deretan kemilau yang menyilaukan mata di hadapannya. Ia melirik Rome yang sedang fokus menatap deretan kemilau berwarna silver itu; perhiasan. Salah satu pelayan yang ada di toko perhiasan itu tak menghilangkan senyumannya sedikitpun, ikut membantu Rome merekomendasikan kalung-kalung berliontin yang dijual di tokonya. Pandangan Rava jatuh ke sebuah kalung silver berliontin persegi panjang kecil dengan tiga buah berlian berukuran kecil-kecil yang berderet sepanjang persegi panjang itu. Sederhana, namun manis. 'Di toko kayak gini, harga perhiasannya bisa jutaan kali ya?' batin Rava. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke penjuru toko perhiasan itu. 'Rome lama banget milihnya! Dia mau beliin buat siapa sih emangnya....'
"Va, kata lo mending yang mana?" tanya Rome tiba-tiba, mengalihkan atensi Rava. Rava menatapnya. "Yang ini, ini, atau itu?" tanya Rome lagi sembari menunjuk tiga kalung berliontin pilihannya.
Rava memerhatikan pilihan Rome. Kalung berliontin yang menarik perhatiannya tadi turut menjadi pilihan Rome. "Hm ... yang—"
"Kalau buat mbaknya saya saranin yang ini, Mas," potong pelayan wanita bermata sipit yang sejak tadi tersenyum ramah itu sembari menunjuk sebuah kalung silver berliontin hati. "Biasanya sih cowok kayak Mas ini beli kalung yang ini untuk pacarnya."
Rome dan Rava menatap pelayan itu bersamaan dengan wajah bingung, kemudian keduanya buru-buru menggeleng saat menyadari maksud pelayan itu.
Rome menunjuk Rava yang berdiri di sebelahnya dengan jempolnya, "Eh, bukan, Mbak. Dia—"
"Dia bukan pacar saya, Mbak!" potong Rava cepat, membuat Rome langsung menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Kedua tangan gadis manis itu teracung, mengibas-ibas. Wajahnya horror sekali mendengar pernyataan sang pelayan, campuran antara panik dan malu.
Sementara itu, sang pelayan wanita hanya tertawa renyah melihat pemandangan dua remaja yang sedang salah tingkah di hadapannya itu. "Ahahaha, bukan, ya? Aduh, maaf ya, saya kira kalian pacaran."
Rome hanya tertawa menanggapinya sembari menggelengkan kepala, sementara Rava hanya cemberut lucu, menunduk malu. "Hahaha, bisa aja nih Mbaknya. Va, buruan, mending yang mana?" Rome kembali ke topik semula, sedikit menyenggol lengan Rava.
Rava kembali memandangi tiga kalung liontin pilihan Rome. Masih dengan wajah menahan malu, gadis itu menunjuk kalung liontin yang sebelumnya menarik perhatiannya. "Buat siapa sih emangnya?" akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya.
Rome memandangi pilihan Rava, kemudian tersenyum puas. "Hm ... buat nyokap. Karena gue cowok, jadi gue gak tau selera cewek tuh yang kayak gimana, makanya gue ngajak lo," jawab Rome, tanpa menatap Rava.
'Oh ... buat Tante Imelda. Pantesan. Pasti mahal,' batin Rava.
"Ya udah deh, Mbak, saya ambil yang itu aja ya. Sekalian sama kotak perhiasannya, yang menurut Mbak cocok aja sama kalungnya," ujar Rome, membuat keputusan final.
Pelayan itu meraih sebuah kotak perhiasan khusus kalung, "Yang ini?" tanyanya, menunjukkan sebuah kotak perhiasan berbentuk persegi panjang berwarna merah di tangannya. Rome hanya mengangguk.
***
Setelah lima jam lamanya Rome dan Rava bermain-main di mall tersebut, akhirnya Rome mengajak Rava untuk pulang. Sebelum keluar dari mall, Rome sempat membelikan oleh-oleh untuk keluarga Rava, yaitu sekotak donat yang lezat. Sebenarnya Rava sudah menolak karena tidak ingin merepotkan lelaki itu, namun Rome beralasan bahwa Nabilla pasti akan senang sekali melihat kakaknya pulang dengan sekotak donat warna-warni di tangan. Rava terpaksa mengiyakan, tidak bisa membantah. Lagipula sudah terlanjur dibeli. Rome baru bilang bahwa ia membeli donat untuk keluarganya setelah lelaki itu membayarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...