39

3.1K 293 8
                                    


"Neng, kemarin pas Mama nyuci baju ada jas warna hitam. Itu punya siapa ya? Soalnya Mama yakin bukan punya papa. Ukurannya lebih kecil dan jas papa gak ada yang modelnya kayak gitu," Martha memulai pembicaraan di meja makan pagi itu, menatap Rava dengan tatapan bertanya.

Rava hampir tersedak. Ia buru-buru meminum air hangatnya. "I-itu..." kata-kata Rava terhenti sejenak, teringat jas hitam milik Rome yang memang belum sempat ia kembalikan. Lupa. "Itu punya Rome, Ma. Waktu prom beberapa hari yang lalu dia minjemin ke Rava. Udah kering, Ma?"

Martha langsung mengalihkan atensinya dari nasi goreng di depannya ke wajah Rava dengan kedua mata berbinar. "Oh, itu punya si Kasep? Kalo tau gitu Mama laundry aja kemarin jasnya."

"Ish, Mamaaa!" Rava mulai merajuk, cemberut lucu. Sementara itu, Martha dan Hadi hanya tertawa menggoda. Nabilla yang tidak tahu apa-apa hanya menatap sambil terus menyendok nasi goreng ke mulutnya. "Tau ah. Udah kering belum jasnya?" tanya Rava lagi, berusaha tidak menghiraukan godaan kedua orangtuanya.

"Udah kok, udah Mama setrika juga. Nanti kamu ambil aja di ruang tengah, terus cepet kembaliin ke orangnya di sekolah nanti. Pamali barang punya orang kita pinjem lama-lama, padahal udah nggak kita gunain," jawab Martha seraya menasihati. Rava hanya mengangguk mengiyakan.

***

Rava memegang paper bag bermotif batik di kedua tangannya dengan gelisah. Ini sudah jam pulang, namun Rava belum juga berani mengembalikan paper bag berisi jas hitam milik Rome kepada sang empunya. Seharian ini Rome terlihat sangat tidak baik, lebih-lebih dari kemarin. Ia bertambah kacau dan tidak ada satupun anak yang berani mendekatinya, kecuali Vigo, Raka, Dean, dan Alvin. Keempat lelaki itu beberapa kali terlihat mendekati Rome, namun setelahnya Rome selalu pergi menjauh, dan akhirnya keempat lelaki itu menyerah juga mendekati Rome.

Rava menunduk dalam, berdiri bersandarkan dinding tepat di sebelah pintu kelasnya yang masih terbuka. Sudah lebih dari lima belas menit ia berdiri di sana. Seluruh anak kelasnya sudah keluar, kecuali satu orang: Rome. Rava mengintip sedikit ke dalam kelasnya. Terlihat Rome yang mulai bangkit dan menyampirkan ransel hitam di pundaknya, kemudian berjalan menuju ke arahnya. Rava refleks menegakkan tubuhnya kembali. Entah mengapa jantungnya berdegup sangat cepat menanti kedatangan Rome. Rasanya sama persis ketika ia menunggu giliran maju untuk praktik olahraga yang sangat tidak dikuasainya.

Grak!

Rava terlonjak kaget begitu pintu kelasnya ditutup tiba-tiba oleh seseorang. Ia menoleh ke kanan, menemukan sosok Rome yang juga menatapnya. Entah mengapa keadaan menjadi canggung. Tak satupun huruf keluar dari mulut Rava, padahal ia hanya harus menyerahkan paper bag itu kepada Rome, meminta maaf karena telat mengembalikannya, dan berterima kasih karena telah meminjamkannya.

Karena Rava tidak kunjung berbicara — padahal Rome tahu Rava ingin berbicara padanya — Rome pun mengalihkan perhatiannya. Ia mengangguk sekilas pada Rava, mengisyaratkannya untuk pergi terlebih dahulu dan berjalan perlahan melewati gadis itu.

"T-tunggu, Rome!" Rava refleks memanggil nama Rome dan menahan pelan lengan kirinya, membuat langkah Rome terhenti. Rome kembali menatap Rava dengan tatapan bertanya, membuat darah Rava berdesir lebih cepat dari biasanya. Jujur saja, ia takut dengan Rome yang sekarang. "I-ini jas lo yang lo pinjemin ke gue waktu prom. Maaf ya telat balikinnya, dan ... makasih juga."

Rome menatap paper bag yang disodorkan Rava, lalu memandang Rava kembali. Gadis itu langsung mengalihkan tatapannya begitu Rome menatapnya. Ketakutan terbaca jelas di wajahnya. Entah mengapa, ia merasa bersalah melihat Rava yang ketakutan seperti itu. Padahal ia tidak peduli dengan semua orang hari ini. Semua orang tidak ada yang berani mendekatinya kecuali keempat sahabatnya, tentu saja. Dan sekarang, gadis mungil di hadapannya ini seakan-akan mati-matian memberanikan diri untuk berbicara dan mengembalikan jas miliknya kepadanya. Ah, ia jadi ingat sesuatu. Sejak kemarin ia dan Rava sama sekali belum berbicara satu sama lain. Rome pun menjauhi Rava.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang