52

2.8K 249 6
                                    

UAS semester ganjil akhirnya berakhir juga. Murid-murid OHS keluar dari ruang ujian dengan wajah lega nan sumringah sembari menenteng laptop ataupun notebook di tangan masing-masing. Ya, OHS memang sudah menerapkan ujian berbasis komputer untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).

Tak beda jauh dengan murid-murid lainnya, Rome dan Rava juga berwajah lega, berjalan berdampingan sembari berbincang ringan, melewati lorong-lorong kelas menuju ruang tempat penyimpanan tas selama UAS berlangsung. Laptop mereka jinjing di tangan masing-masing.

"Gimana tadi ujian ekonominya?" tanya Rava, beralih topik dari topik sebelumnya.

"Lancar dong. Yang lo ajarin ke gue kemarin keluar semua di ujian. Thanks, ya," jawab Rome, tulus berterima kasih. Sesekali ia mengalihkan pandangannya, membalas sapaan maupun senyuman dari murid-murid OHS lainnya, entah itu teman seangkatan maupun adik kelas. Rava yang melihat itu merasa sedikit minder. Rome dikenal oleh hampir seluruh isi sekolah, namun tidak dengannya.

Jangankan satu sekolah. Yang seangkatan, bahkan sejurusan saja banyak yang belum dikenalnya dan mengenalnya, kecuali teman-teman sekelasnya.

'Ah, ngapain sih gue mikirin begituan?' batin Rava, membuang jauh-jauh pikiran konyolnya. Beberapa yang melewati mereka melemparkan tatapan memuja ke Rome, namun ketika melihatnya, tatapan mereka berubah menjadi aneh, khususnya murid wanita. Rava hanya membalas tatapan mereka dengan seulas senyuman canggung. Mungkin sebagian dari mereka tidak suka melihat kedekatan Rome dan Rava yang akhir-akhir ini memang sering terlihat berdua. Jujur, Rava bahagia dengan kedekatannya dengan Rome, sangat malah. Namun ternyata dekat dengan Rome juga menguras pikiran dan batinnya. Ada tantangan tersendiri mengenai hal tersebut yang jujur saja membuat Rava sedikit terganggu.

"Pulang bareng kan?" tanya Rome tiba-tiba, membuyarkan lamunan Rava. Ia meraih tas ranselnya dan memasukkan laptopnya ke dalam sana. Mereka sudah tiba di ruang penyimpanan tas. Rava hanya mengangguk ragu, membuat Rome mengernyit heran. "Lo kenapa?"

Rava meraih tas ranselnya juga, menghindari tatapan Rome. "K-kenapa apanya? Gue gapapa, kok."

"Lo ngelamun, Va," jawab Rome sembari meresleting tas ranselnya. "Mikirin apa?"

Rava menggeleng, tidak berniat membagi pemikirannya dengan Rome.

"Serius?" Rome memastikan, menatap Rava dalam, yang malah membuat Rava salah tingkah.

"I-iya, serius. Udah ah, ayo pulang," jawab Rava yang langsung balik kanan, berjalan perlahan menuju pintu ruang penyimpanan tas. Rome segera menyusulnya, menyamakan langkahnya, menuju parkiran OHS.

***

Rava berjalan berdampingan dengan Rome menuju motor Rome yang terparkir di depan sana. Rava tetap diam, membuat Rome semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh gadis itu. Namun, ia memutuskan untuk tidak bertanya-tanya lebih lanjut, karena ia tahu Rava tidak akan menjawab pertanyaannya, sama seperti saat di ruang penyimpanan tas tadi. Kali ini ia membiarkan Rava tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tiba di depan motor Rome yang terparkir rapi di salah satu barisan, lelaki itu segera menaikinya dan menstarternya. Deru motornya yang khas menggema. Sementara Rava, gadis itu menunggu tak jauh dari motor Rome yang masih berada di antara barisan motor-motor lainnya, memandang punggung lebar Rome dengan tatapan sendu. Rava melangkah mundur ketika Rome terlihat ingin mengeluarkan motornya dari barisan motor lainnya yang masih terparkir rapi, namun....

TIIIIIIIIINNN...!!!

Rava yang baru mundur dua langkah lantas menghentikan langkahnya, terlonjak kaget ketika sebuah mobil mengerem tiba-tiba di belakangnya, hampir menabraknya. Tidak, bumper mobil sport berwarna hitam metalik itu bahkan sudah 'menyentuh' kaki kanannya, tepatnya di bagian betis.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang