13

4.4K 398 4
                                    

Rava memejamkan kedua matanya rapat-rapat, menangis tertahan. Ia sudah yakin hari ini pasti akan menjadi hari terakhirnya di dunia. Ia benar-benar sudah tidak dapat lagi berpikir tentang apa pun sekarang. Tiba-tiba, bayangan akan wajah kedua orang tua serta adiknya terlintas di benak, tersenyum menatapnya. Oh, ini benar-benar akan berakhir menyedihkan.

'Mama ... Papa ... Nabilla ... maafin aku....'

Rava terus terisak, menerka-nerka kapan tubuhnya akan terhempas keras di aspal panas itu. Hingga akhirnya, ia merasakan tubuhnya seakan-akan melayang di udara. Hei, apakah ia terbang? Namun entah mengapa, sebelah tangannya terasa sakit karena berpegangan atau lebih tepatnya dipegang oleh sesuatu dengan erat. Eh, dipegang?! Ia benar-benar tidak bisa membuka kedua matanya sekarang. Ia terlalu takut.

"R-Rava ... buka mata lo."

Rava mengernyit, mendengar suara seseorang yang amat dikenalnya. Tak lama, ia juga mendengar seru-seruan dari bawahnya, walaupun tidak terlalu banyak. Mereka semua berteriak histeris. Dan mereka adalah guru-guru serta murid-murid Olympus High School yang masih ada di sekolah. "Rava ... argh."

Rava akhirnya memberanikan diri membuka kedua matanya secara perlahan. Ia menatap ke atasnya dan menemukan wajah menahan sakit milik Rome yang berkeringat. Dan tangan itu ... Rome telah menyelamatkannya! Rome mencengkeram kuat lengannya!

"A-aw...." Rava mulai merasakan kram di tangannya. Ia menangis, menatap ke bawah.

"Jangan liat ke bawah," ucap Rome. Rava menatap Rome kembali. Pipinya sembab dan wajahnya memerah saking takutnya. Air mata itu terus mengalir dari kedua mata kucingnya yang lucu. "Tenang, oke? Dengerin gua. Pegang tangan gua pake kedua tangan lo. Tenang aja, jangan panik."

"Rome ... gue takut, hiks." Rava menggeleng lemah. "Gak bisa ... tangan gue sakit...."

Rome menggeleng. "Nggak, lo bisa. Pegang tangan gua dengan kedua tangan lo, nanti gua narik lo ke atas, oke?" Rome menggigit bibirnya sendiri, merasakan nyeri di tangan kirinya yang memegang Rava dengan erat agar ia tidak jatuh, sementara tangan kanannya menahan tubuhnya sendiri, berpegangan erat pada ujung pembatas bangunan tersebut yang sangat rendah.

Rava menatap Rome tidak yakin, sementara Rome mengangguk meyakinkan. Akhirnya, Rava pun menyentuh tangan Rome erat dengan kedua tangannya yang gemetar. Rome meringis ketika lengannya dicengkeram kuat oleh gadis itu. 'Tahan, Ro. Yang penting Rava selamat dulu,' batin Rome.

"Gua tarik ya? Lo jangan banyak gerak, sebisa mungkin dorong tubuh lo ke atas, kalo perlu lo napakkin kaki lo ke tembok, buat bantu lo ke atas, oke?"

Rava mengangguk, mengikuti arahan Rome. Ia berusaha setenang mungkin seperti apa yang diinstruksikan oleh Rome. Rome sekuat tenaga menahan sakit di tangannya, berusaha keras mengangkat tubuh Rava ke atas. Orang-orang yang ada di bawah terus menatap ke atas, berharap Rome bisa menyelamatkan Rava. Wajah mereka semua pias. Beberapa guru langsung bergerak cepat ke rooftop.

Ketika jarak mereka berdua sudah tipis, Rava langsung meraih leher Rome, mengalungkan kedua tangannya di sana. Rome bangun dari posisinya secara perlahan, kemudian langsung mengangkat tubuh mungil gadis itu, merengkuh pinggangnya dengan erat.

"Ah!" Rome jatuh terjerembab ke belakang karena ia terlalu kuat menarik Rava. Rava yang masih ada di dekapannya otomatis ikut terjatuh ke depan, menindih tubuh Rome. Untuk sejenak, mereka berdua saling pandang dengan jarak sedekat itu. Napas keduanya sama-sama tersengal. Hingga akhirnya Rome bersuara pelan, memecah kesunyian yang sejak tadi hanya diselimuti oleh deru napas masing-masing, "Lo gapapa?"

Rava langsung menyingkir dari atas tubuh Rome. Ia terduduk membelakangi Rome. Wajahnya pias, detak jantungnya belum normal, dan napasnya masih tersengal. Wajahnya memerah dengan cepat, menyadari apa yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya, ia kembali menoleh ke arah Rome yang juga terduduk di belakangnya. Kedua matanya melebar menatap lengan kiri Rome yang kemeja putihnya berbercak kemerahan. 'I-itu....' Bahkan, Rava tidak dapat menyelesaikan kalimatnya dalam hati. Ia langsung meraih tangan kiri Rome, membuat Rome terbelalak.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang