Hari Rabu, H-3 menuju Prom Night Olympus High School.
"Nah ... ini dia! Bagus kan? Ini gaun yang Mama pakai dulu waktu papa ngelamar Mama, hehehe."
Rava menatap ibunya yang keluar dari kamar sembari memamerkan sebuah gaun selutut berwarna peach tanpa lengan. Ada pita di bagian atas dadanya yang bisa diikatkan di belakang leher. Rava terbelalak lebar menatap gaun itu. Ia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya bersender malas di sofa. Martha—ibunya—yang sebelumnya tersenyum lebar, kini mulai luntur, heran menatap reaksi anak sulungnya.
"Kamu nggak suka ya?" tanya Martha, hati-hati. "Keliatan kuno banget ya?"
"B-bukan gitu, Ma!" bantah Rava cepat, kemudian bangkit dari duduknya. "Rava baru tau Mama punya gaun kayak gini juga..." lanjutnya seraya mendekati ibunya dan menyentuh lembut gaun tersebut, seakan-akan sentuhan kasar dapat merusaknya.
Senyuman Martha kembali terbit. "Iya dong, gini-gini Mama juga pernah muda, namanya juga Mama gaul, hehehe. Gimana? Mau nggak pakai ini? Kalo kamu nggak suka, kita bisa cari gaun di luar. Mama punya kenalan yang buka butik di Jakarta. Mungkin nggak terkenal banget, tapi gaun-gaun yang dijualnya bagus kok, berkualitas lagi."
Rava buru-buru menggeleng. "Gak usah cari lagi, Ma. Rava nggak mau beli gaun untuk sekali pake doang. Rava suka kok gaun Mama," ucap Rava jujur. Gaun yang dipegang ibunya memang terlihat cantik sekali di kedua matanya. "Tapi Rava gak tau, apa gaun ini cocok sama Rava?"
Martha terkekeh pelan, lantas mengusak pelan puncak kepala Rava dan mencocokkan gaunnya itu di tubuh anaknya. Nabilla yang juga memperhatikan dari sofa terbelalak lebar. "Ya pasti cocok lah, Neng ... udah pas banget nih sama kamu! Duh, anak Mama cantik banget kayak Mamanya."
Rava menatap tubuhnya sendiri, melihat gaun itu dengan ragu. "Serius nih, Ma?"
Martha mengangguk mantap, "Seribu rius untuk Rava!"
Rava tersenyum kecil, lalu mengangguk, "Oke, Rava bakal pake ini untuk prom nanti."
Martha tersenyum puas, lantas mencocokkan gaun itu di tubuhnya sendiri. "Andai aja Mama masih sekurus dulu...."
Rava hanya tersenyum melihat ibunya yang mulai mematut diri di depan cermin panjang di ruang keluarga, mengandai-andai. Rava kembali menjatuhkan dirinya di atas sofa, memainkan ponselnya. Tiba-tiba saja, ponselnya berbunyi, menandakan ada telepon masuk. Rava refleks menegakkan tubuhnya kembali ketika membaca caller ID. Ia mengangkat telepon itu, menempelkannya di telinga tanpa bersuara. Kedua matanya terbelalak. Lantas, ia buru-buru bangkit dan pergi ke kamarnya, dengan ponsel itu yang masih ada di telinga. Tak lama, ia keluar dari kamarnya kembali setelah berganti pakaian dengan asal dan berlarian menuju pintu depan.
"Rava! Kamu mau ke mana, Sayang? Udah malem lho ini!" seru Martha, yang heran melihat anaknya terlihat amat terburu-buru.
"Rava ada urusan, Ma! Bentar kok!"
***
Beberapa menit sebelumnya....
Rome menghela napas lelah ketika baru saja menginjakkan kaki di rumahnya. Keningnya mengernyit ketika mendengar suara-suara yang tak asing baginya dari dalam rumahnya itu. Ia menggeleng pelan, merasa amat lelah. 'Ah, please! Gue capek, baru aja sampe rumah!'
Rome memberanikan diri membuka pintu rumahnya, dan mendapati pemandangan yang 'biasa' di kedua matanya. Jantungnya berpacu cepat, apalagi ketika kedua mata garang Farhan—ayahnya—menatapnya dengan cepat. Rome menunduk, segera menutup pintu rumahnya. Ia berusaha tidak acuh dengan kejadian 'biasa' ini, berusaha tidak peduli.
Namun, ia tidak bisa. Ekor matanya bisa menangkap Imelda—ibunya—yang berjongkok di lantai dengan rambutnya yang ditarik ke atas oleh Farhan. Rome menggertakkan giginya, namun ia sadar ia tidak bisa berbuat apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...