8

4.6K 423 5
                                    

Seorang anak lelaki berumur lima tahunan itu menatap teman-temannya yang sedang asyik dengan krayon dan kertas gambar mereka. Mereka semua berceloteh riang, memamerkan hasil gambar masing-masing kepada teman-temannya.

"Anak-anak, sudah selesaikah menggambarnya?" tanya guru mereka, wanita cantik paruh baya yang akrab disapa dengan sebutan 'Bunda Nina' oleh anak-anak muridnya.

Sebagian anak berseru belum, sebagian lagi sudah. Sementara itu, anak lelaki yang tadi hanya terdiam sembari menatap gambarnya.

"Baik, baik. Bunda tunggu kok sampai gambar kalian selesai. Yang sudah selesai menggambarnya, boleh maju ke depan kelas dan menceritakan tentang gambar yang kalian buat ke teman-teman!" lanjut Bunda Nina. Anak-anak berseru kegirangan, semakin bersemangat untuk menyelesaikan gambar mereka.

Anak lelaki yang tadi memandang hasil gambarnya. Ia hanya menggambar mobil berwarna merah di kertas gambarnya. Wajahnya datar. Menurutnya tidak ada yang menarik sama sekali dalam gambarnya. Anak itu mengintip hasil gambar teman-temannya yang lain. Gambar mereka semua menarik dan bagus-bagus di kedua matanya. Ialah Romeo Grenza Reynanda, yang pada saat itu baru berumur lima tahun dan duduk di bangku taman kanak-kanak.

"Glenza, kamu buat apa?"

Rome kecil menoleh, menatap seorang anak lelaki berkepala botak yang berjalan mendekatinya, lalu bertanya padanya dengan suara cadel. "Udah selesai, eum?"

Rome kecil menggeleng, kemudian menjawab sembari menutupi gambar mobilnya, "Belum, Kiki. Kamu udah?" Rome kecil balas bertanya, tersenyum manis. Ia menggerak-gerakkan kedua kakinya di bawah meja. Manis sekali.

Anak berkepala botak bernama Kiki itu tersenyum lebar, lantas menunjukkan hasil gambarnya dengan percaya diri. "Sudaaahh! Bagus kan, Glenza? Hehehe."

Rome kecil terbelalak menatap hasil karya Kiki. Ia menggambar empat orang manusia yang berdiri di depan sebuah rumah. Ada seorang wanita dewasa, seorang pria dewasa, seorang anak lelaki berkepala botak, dan seorang anak perempuan yang lebih tinggi dari anak lelaki berkepala botak itu. Di masing-masing gambarnya—tepatnya di bagian bawah gambar keempat manusia tersebut—tertulis 'Mama', 'Papa', 'Kak Hira', dan 'Kiki'. Sudah cukup jelas, itu gambar keluarganya.

"Bagus, Glenza?" Kiki bertanya lagi.

Rome kecil tersenyum, mengacungkan kedua jempolnya. "Bagus banget, Kiki!"

Kiki bertepuk tangan senang, kemudian berlarian ke temannya yang lain, memamerkan hasil karyanya lagi. Rome kecil beralih ke gambarnya lagi, kemudian meremas kertasnya. Ia mengacungkan tangannya seraya berkata, "Bunda Nina, aku boleh minta keltasnya lagi?"

Setelah mendapat kertas barunya, Rome kecil segera menggambar lagi, namun bukan menggambar mobil merah seperti yang sebelumnya. Satu-persatu, teman-temannya mulai maju ke depan kelas, bercerita soal gambar mereka dengan semangat. Para orang tua yang beberapa sudah datang untuk menjemput menonton dari luar kelas, tersenyum bangga. Rome menatap hasil gambarnya, kemudian menoleh ke arah para orang tua yang menunggu di luar. Kedua mata kecilnya menatap ke sana dan kemari, seakan-akan sedang berusaha untuk mencari seseorang. Tidak ada.

"Grenza, kamu belum maju kan? Sini, Nak, ceritakan tentang gambar yang kamu buat kepada kita semua." Suara Bunda Nina membuyarkan lamunan Rome. Anak itu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, kemudian menatap gambarnya kembali. Wajahnya tidak yakin. "Gapapa, Sayang. Sini, Bunda temani!"

Rome kecil berjalan sambil menunduk ke depan kelas, kemudian berdiri tepat di sebelah Bunda Nina. Bunda Nina mengusap rambutnya yang hitam kelam. "Mulai, Sayang. Ayo, ceritakan gambar kamu, tunjukkan ke Bunda dan teman-teman."

Rome kecil menelan liurnya, kemudian menunjukkan hasil gambarnya ke teman-temannya. Tampak teman-temannya yang terbelalak melihat hasil karyanya. Wajah Rome kecil tetap datar. Bunda Nina pun nampak sedikit terkejut dengan apa yang digambar oleh anak muridnya yang satu itu.

Lihatlah kertas itu. Hanya berisi gambar hati berwarna merah yang berukuran tidak terlalu besar, hampir tidak kelihatan oleh teman-temannya yang duduk di bangku belakang.

"W-wah ... bagus sekali, Sayang! Itu gambar apa, hm?" Bunda Nina bertepuk tangan, berusaha mencairkan suasana dan menghibur Rome. Teman-temannya pada awalnya tertawa, namun Bunda Nina segera menenangkan mereka ketika melihat wajah sedih Rome. "Anak-anak, ayo dengar Grenza bercerita dulu! Grenza, ceritain dong ke Bunda dan teman-teman tentang gambar kamu? Oke?"

Rome kecil yang memang pada saat itu masih dipanggil 'Grenza' mengangguk. Ia menunjuk gambar hati itu, kemudian berkata, "This is love. Ini gambal hati. Kata oma, love altinya sayang. Ini hatinya oma. Aku sayang oma, oma juga sayang aku. Aku senang main dan belajal sama oma, oma baik, aku jadinya sayang." Rome kecil membalik gambarnya. Terdapat gambar hati yang ia buat seperti patah di sana, yang juga berwarna merah. "This is bloken love. Hatinya patah, sakit. Jadinya nggak bisa main. Oma bilang mama sama papa hatinya patah, jadinya sakit, gak bisa nemenin aku main sama belajal. Aku sayang mama sama papa juga, tapi meleka lagi patah. Aku mau benelin hati mama sama papa bial kayak hatinya oma. Bial gak patah sama sakit lagi, jadi mama sama papa bisa nemenin aku main sama belajal."

Rome kecil menyudahi ceritanya. Teman-temannya menatapnya takjub, kemudian bersorak keras sembari bertepuk tangan. Bunda Nina yang berdiri di sebelahnya menutup sebelah mulutnya tak percaya. Ia tak menyangka bahwa anak sekecil ini bisa bercerita sedemikian rupa, meskipun kata-katanya masih sulit untuk dimengerti karena ia memang masih kecil. Anak muridnya yang satu ini benar-benar tidak bisa ditebak dan jenius.

Bunda Nina tersenyum haru, ikut bertepuk tangan. "Bagus, Sayang. Bagus sekali."

Rome tersenyum senang. Ia menatap keluar jendela. Nampak neneknya—sang Oma—sedang tersenyum haru menatapnya sembari melambaikan sebelah tangannya. Wanita tua itu mengusap air mata yang terjatuh dari kedua matanya.

***

Rome kembali ke kesadarannya. Ia mengalihkan pandangannya dari sebuah foto yang dibingkai dan digantung di dinding kamarnya. Itu foto dirinya bersama neneknya ketika ia masih TK dulu. Dalam keadaan seperti ini, ia sungguh merindukan sang nenek.

Pandangan Rome jatuh ke lengan kirinya yang terkulai lemas di pangkuannya. Luka sayatan itu masih terlihat dengan jelas, masih segar. Bahkan darahnya pun masih membekas hingga mengenai baju dan selimut tidurnya. Ia tersenyum getir.

Rome memejamkan kedua matanya, menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke papan kayu tempat tidurnya. 'Oma ... Grenza kangen Oma,' batin Rome. 'Oma, harus sampe kapan Grenza begini? Grenza butuh Oma. Grenza capek, Oma. Maafin Grenza yang harus tumbuh dewasa dan jadi kayak gini. Ini semua bukan kemauan Grenza....'

Rome membuka kedua matanya kembali. Ia meraih ponselnya, mencari nomor telepon seseorang di kontaknya, lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya. Selalu kontak orang itu yang ia hubungi jika ia sedang down seperti ini. Hanya dengan mendengar suaranya, itu sudah sangat menghiburnya. Orang itu merupakan obat kedua untuknya, setelah neneknya yang sudah lama meninggal dunia. Ya, hanya dengan mendengar suaranya, tanpa harus ia membalas kata-katanya seperti biasa jika kondisinya buruk seperti ini.

"Halo?"

"...."

"Rome? Ada apa nelepon aku pagi-pagi gini? Hhh ... masih jam setengah tujuh, aku masih ngantuk tau."

Rome tersenyum tipis mendengar gerutuan di ujung sana.

"... Kamu baik-baik aja kan, Ro?"

"...."

"Romeo? Ada apa?"

"...."

"... Oke, aku gak bakalan nanya-nanya lagi. Aku tau pasti ada yang terjadi kan?"

"Hm...."

"Semua bakal baik-baik aja, Ro."

"... Capek, Carla. Aku harap saat aku bangun, aku gak di sini lagi. Tapi nyatanya ... aku masih di sini."

"Hm, aku tau. Tapi kamu pasti bisa ngelaluinnya, apapun itu masalah yang lagi kamu hadapin sekarang. Oke? Aku ada di sini untuk kamu."

".... Oke."

***

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang