Rava mencengkeram kuat tiang dinding tempatnya bersembunyi. Ia tersenyum dipaksakan, namun dalam waktu bersamaan, ia merasa air matanya akan jatuh saat itu juga. 'Kok sakit ya?' batinnya. Namun, ia tetap tersenyum. Tersenyum melihat Rome dan Carla yang berpelukan di sana, kembali berbaikan. 'Syukur deh mereka udah baikan.'
"Bener kan firasat gue. Pasti kemarin si Rome sama Carla berantem. Bagus lah sekarang kayaknya udah baikan lagi."
Deg! Rava terperanjat. Ia buru-buru memutar tubuhnya, menatap sosok seorang Raka yang ternyata ada di belakangnya, entah sejak kapan. "L-lo sejak kapan di sini...?" tanya Rava, terbata.
Raka menatap wajah Rava, dan Rava hanya mengalihkan pandangannya. Ia tahu pasti Raka melihat kedua matanya yang berkaca-kaca, juga suaranya yang sedikit bergetar. Namun, ia berusaha untuk menyembunyikan itu semua. "Sejak ... tadi," jawab Raka.
Rava hanya mengangguk sebagai balasan. Ia tidak tahu harus berekspresi bagaimana di depan Raka. "Lo ... gak sama yang lain?"
Raka menggeleng mendengar pertanyaan basa-basi Rava. "Nggak. Gue sengaja nungguin Rome, biar barengan ke tempat tongkrongan," jawab Raka. Ia tetap menatap wajah Rava, menelitinya. "Lo oke?"
Rava tertawa dipaksakan. Tanpa menatap Raka, ia menjawab, "Haha, emangnya gue kenapa? Gue gak apa-apa."
Raka menghembuskan napas pelan, lantas menunjuk Rome dan Carla yang sedang bercanda ria dengan dagunya. "Gara-gara itu. Lo beneran gapapa?"
Rava kembali tertawa dipaksakan. Ia menggeleng pelan, lantas berkata, "Lucu deh lo. Mereka emangnya kenapa? Gue? Gue gapapa. Gue ... gak ada urusannya sama mereka."
Raka kembali menghembuskan napas pelan seraya menegakkan tubuhnya dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Huft ... lo tuh sok kuat banget sih?"
Rava mendongak, menatap Raka tak mengerti. Tatapannya menajam seketika. "Sorry, maksud lo apa, ya?"
"Gue tau kok yang lo rasain sekarang. Lo suka Rome, 'kan?"
"A-apa—"
"Lo nggak berani natap lawan bicara lo karena lo takut tebakan lawan bicara lo bener, 'kan?"
Rava membeku. Raka benar. Ia takut. Dan ia tidak ingin perasaannya diketahui oleh siapa pun. Entah kenapa, Raka semakin terlihat menyebalkan di kedua matanya kini, hanya karena pemuda itu tahu apa yang ia rasakan.
"Mau sampe kapan lo nutup diri? Ngelak dari perasaan lo sendiri? Gue kasih tau aja ya, Rome tuh susah," ucap Raka, lagi-lagi membuat Rava tak mengerti. "Rome baik ke semua orang, itu karena dia emang begitu dari lahir, istilahnya ... setting-annya udah paten begitu. Tapi dia tuh bego, karena kepekaannya berada di bawah garis rata-rata, malah hampir nggak ada. Lo sampe kapan pun bakal sakit begini, karena Rome nggak tau gimana perasaan lo, ditambah perlakuannya yang emang kelewat baik mendekati bego itu."
Rava membuang wajah, menatap Rome dan Carla kembali. "Gue gak peduli. Ini perasaan gue ke dia, dan ini bakal jadi tanggung jawab gue dan hati gue aja. Dia gak perlu tau perasaan gue ke dia yang sebenernya gimana. Gue bakal baik-baik aja. Lagipula ... gue harus gimana, coba? Confess ke dia? Dan kalo pun Rome udah tau, apa yang akan dia lakuin? Bilang makasih? Udah? Terus? Gak akan ada yang berubah, Ka, karena dia cuma suka sama Carla. Jadi ... sama aja kalo gue bilang atau nggak."
Raka terdiam mendengar pernyataan Rava, ditambah senyuman getir yang ditunjukkan oleh gadis bermata kucing itu. Dan untuk beberapa alasan, Rava menyesal karena telah berkata demikian. Di hadapannya sekarang adalah Raka, si biang rusuh di kelas. Namun demi mendengar kata-kata lelaki itu yang jujur saja menyentuhnya, Rava jadi lupa bahwa sekarang yang ada di hadapannya dan mendengarkannya adalah Raka. Padahal, ia sendiri tidak terlalu suka apalagi dekat dengan Raka. Sementara itu, Raka merasa sedikit kasihan melihat gadis di hadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...