Hari Sabtu yang cerah, Rava masih bergelung di dalam selimut pink-nya ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi keras, menandakan ada telepon yang masuk. Rava dengan sangat terpaksa membuka kedua matanya, terganggu oleh nada dering ponselnya sendiri. Ia melirik jam dinding kamarnya. Masih pukul enam pagi. Siapa pula yang meneleponnya pagi buta begini di hari libur?
Ya, bagi Rava, jam enam pagi di akhir pekan adalah pagi buta.
Rava meraba-raba meja kecil di samping ranjangnya, meraih ponselnya. Ia membaca caller ID. Nomor yang tidak dikenal menghubunginya. Karena penasaran, Rava pun akhirnya mengangkat telepon itu. "Ya, halo? Siapa ya?" tanya Rava langsung saja dengan suara khas orang baru bangun tidur.
"Halo, benar ini nomornya Rava?"
Rava segera terduduk dari posisi rebahannya. Dahinya berkerenyit. Ia merasa familiar dengan suara sang penelepon. Suara seorang wanita. "Iya. Ini siapa ya?"
"Ini Tante Imelda, Sayang, mamanya Rome. Tante ganggu tidur kamu ya?"
Kedua mata Rava membulat seketika. Ibunya Rome meneleponnya! Buru-buru ia menjauhkan ponsel dari wajahnya, lantas berdeham beberapa kali, membersihkan tenggorokan agar suaranya tidak terdengar serak lagi. "Eh, nggak kok, Tante, nggak ganggu sama sekali. Ada apa ya, Tante?" tanya Rava berusaha sesopan mungkin. Dalam hati ia bertanya-tanya dari mana Imelda tahu nomor teleponnya dan mengapa wanita itu meneleponnya sepagi ini?
Yah, mudah ditebak sebenarnya. Pasti beliau mendapatkan nomor telepon Rava dari anaknya, Rome. Namun, apa maksud beliau menelepon Rava sepagi ini? Entah mengapa jantung Rava sedikit berdebar ditelepon oleh Imelda.
"Maaf ya Tante nelepon kamu pagi-pagi banget, Tante minta nomor telepon kamu sama Rome tadi. Tante mau minta tolong sesuatu sama Rava, itu juga kalo Rava bersedia," jawab Imelda di ujung sana.
Dahi Rava makin berkerenyit. "Minta tolong apa, Tante?"
"Begini, Tante kan udah beberapa hari cuti kerja karena harus jagain Rome, terus hari ini ada staf perusahaan yang minta Tante dateng ke kantor pagi ini juga jam tujuh karena ada meeting mendadak sama klien. Tante gak bisa jagain Rome jadinya, sementara Romenya gak mau ditinggal. Dia ngambek sama Tante gara-gara emang sebelumnya Tante janji mau nemenin dia terapi. Tante pusing banget ini, dia gak mau makan dan ganti infus," jelas Imelda panjang lebar. Nada frustrasi terdengar jelas dalam suaranya, namun ia berusaha menyembunyikannya.
Berbeda dengan Imelda, Rava justru sedang mati-matian menahan tawanya. Ia sedang membayangkan bagaimana Rome ngambek dengan ibunya, dan entah mengapa itu malah membuatnya gemas. "Tante ... mode manjanya Rome lagi kambuh itu berarti, namanya juga lagi sakit. Dia mau deket terus sama mamanya," balas Rava hati-hati agar tawanya tidak meledak.
"Hhh ... Tante tau itu, Sayang. Cuma meeting ini penting banget dan Tante gak bisa pergi dengan tenang kalo Romenya gak mau makan juga."
Rava menegakkan tubuhnya, sadar bahwa ini masalah yang cukup serius. Apalagi Imelda juga terdengar khawatir sekaligus putus asa di seberang sana. "Terus ... apa yang bisa aku bantu, Tante?" tanya Rava ragu-ragu.
"Tadi Tante udah ngomong sama Rome. Tante minta maaf berkali-kali sama dia dan saat Tante tanya mau dia apa, dia nyuruh Tante telepon kamu dan minta kamu ke rumah sakit sekarang juga buat nemenin dia."
Jder.
Rava hampir tersedak dibuatnya. Ia terdiam beberapa saat, mencerna kata-kata Imelda. Rome? Memintanya untuk menemaninya sekarang juga? Lelaki itu 'memintanya' sendiri? Rava hampir tidak percaya dengan pendengarannya. Memang sih tanpa diminta pun Rava akan selalu datang ke rumah sakit tempat Rome dirawat, namun entah mengapa rasanya berbeda saat orang yang selalu kau jenguk memintamu untuk datang dan menemaninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...