Pukul 11.00.
Rome menatap pantulan dirinya di depan cermin. Seorang pemuda tampan yang mengenakan ripped jeans biru muda dan t-shirt putih polos dibalut dengan jaket kulit hitam terpampang jelas di sana. Ia menghela napas dan menghembuskannya beberapa kali. Hei, mengapa ia menjadi segugup ini? Padahal ia sudah biasa mengajak Rava jalan berdua. Apakah ini karena....
"Tenang ... tenang..." Rome berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ah, ia tidak suka perasaan gugup seperti ini.
Lima menit kemudian, Rome sudah menyambar kunci motornya, bergegas pergi keluar rumah, menuju bagasi tempat di mana motornya terparkir.
***
Rava berdiri di depan cermin meja riasnya, memerhatikan penampilannya. Ia mengenakan skinny jeans berwarna biru terang dan t-shirt putih, ditambah jaket denim berwarna senada dengan celananya. Rava meraih parfumnya, lantas menyemprotkannya ke tubuh. Saat ia sedang menyemprotkan parfumnya, Martha — ibunya — tiba-tiba membuka pintu kamarnya, melongokkan kepalanya. Wanita itu tersenyum lebar. "Neng, buruan atuh dandannya. Si Kasep udah nunggu tuh di ruang tamu," ucap wanita itu, sumringah.
Rava mengernyitkan keningnya, sampai akhirnya kedua matanya terbelalak lebar, menyadari sesuatu. "Hah? Rome udah nyampe? Kok dia gak nge-chat dulu sih? Sejak kapan?"
Martha mengibaskan tangannya di depan wajah dengan raut bosan. "Udah, gak usah banyak tanya. Udah dari tadi dia nyampe. Yang bukain pintu si papa, sekarang lagi ngobrol mereka. Cepetan, ah! Gak baik bikin orang nunggu." Setelah berkata demikian, Martha menutup pintu kamar Rava kembali, meninggalkan Rava yang berdebar di dalam sana.
'Sejak kapan nyampenya? Kok suara motornya gak kedengeran? Masa iya gue budeg sesaat? Apa tadi kata mama? Dia lagi ngobrol sama papa?' pertanyaan beruntun memenuhi otak Rava. Gadis itu buru-buru menyambar tas kecil berwarna cokelat di atas ranjangnya, kemudian melangkah keluar kamar.
***
"Kemaren Eden Hazard mainnya cakep banget, Om. Yang ngejebol pertama dia."
"Oh, ya? Om gak nonton bola sih semalem. Skornya berapa-berapa?"
"Chelsea 2, Manchester United 1, Om."
"Wah, tim kebanggaan Om menang lagi. Baru semifinal ya itu?"
"Iya, Om. Tim kebanggaan kita sama, hahaha."
"Oh, iya, denger-denger Ronaldo pindah ke Juventus?"
"Iya, Om. Sebenernya saya lebih setuju dia di Madrid sih. Kurang sreg aja gitu liat dia di Juventus, hahaha."
"Om gak terlalu ngikutin perkembangan Real Madrid sih."
Langkah Rava terhenti sejenak, menatap Rome dan Hadi — ayahnya, yang sedang berbincang seputar sepak bola. Perbincangan yang tidak ia mengerti.
"Coba aja Om punya anak laki-laki, pasti seru, bisa nonton bola bareng. Rava gak suka bola, sih. Dia lebih suka nonton si Spongebob — eh, itu anaknya. Panjang umur, hahaha." Rava menghembuskan napas pelan mendengar ayahnya berkata demikian. Atensi Rome pun teralihkan, menatap Rava sembari tersenyum manis. Mau tak mau, gadis itu membalas senyumannya. "Rome udah nunggu lama, lho. Kamu dandannya seminggu."
"Papa lebay, deh," gerutu Rava. Ia berjalan mendekati ayahnya dan Rome. "A-ayo, Ro."
Rome hanya mengangguk, kemudian beralih ke Hadi lagi. "Om, saya pamit dulu ya? Izin pinjem Rava-nya juga, gak sampe malem kok, saya janji," ujar Rome sembari menyalami tangan Hadi.
Hadi tertawa renyah, "Hahahaha, bagus, bagus. Kalo pulang malem gak boleh, bolehnya pulang besok paginya."
"ISH, PAPA!" Rava sedikit menyentak, melotot menatap Hadi yang kini malah tertawa lebar, begitu pula Rome di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...