Rome dan Rava duduk berhadapan di salah satu meja bundar yang ada di kafe tersebut. Rava menyedot jus alpukatnya dengan canggung. Masalahnya, sudah lebih dari lima menit mereka berada di sini, namun Rome tidak juga memulai pembicaraan.
"Ro." Rava akhirnya memberanikan diri bersuara terlebih dahulu. Rome yang sejak tadi menunduk menoleh, menatapnya. "Ngomong."
Rome menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya bersuara, "Lo pasti udah tau apa yang mau gua omongin sekarang." Rava terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Rome. "Gua yakin lo udah liat semuanya. Dan gak ada alesan lagi bagi gua untuk ngelak dari tuduhan lo kalo gua—"
"Tapi lo emang ngelakuin itu kan? Gue bener kan? Gue gak lagi ngekhayal atau ngehalu kan?" potong Rava cepat. Ia mendadak jadi emosi seperti ini, seakan-akan memojokkan Rome.
Rome menghela dan menghembuskan napasnya beberapa kali, berusaha untuk setenang mungkin. "Iya, lo bener. Apa yang lo liat nyata. Puas?" Dan entah mengapa, Rome ikut terpancing emosinya. "Udah cukup jelas tanpa gua ngaku sekali pun. Kita persingkat ajalah obrolan kita sekarang. Intinya ... gua gak mau lo ungkit-ungkit masalah ini lagi, khususnya di depan temen-temen kita. Dan terutama banget, di depan Vigo, Raka, Dean, sama Alvin. Lo bisa tutup mulut kan? Gua mohon."
Rava menghembuskan napasnya dengan pelan. Ia mengalihkan pandangannya. Percakapan ini sudah mencapai klimaksnya ternyata. "Gue gak masalah sama sekali kalo soal itu. Gue bisa tutup mulut seperti apa yang lo minta. Tapi masalahnya ada di lo, Rome."
"Di gua?"
"Kenapa lo ngelakuin itu?" Rava bertanya lirih, dengan nada yang lebih lembut sekarang. Ia menatap Rome dengan wajah sedih. Jauh di dalam lubuk hatinya, Rava sebenarnya merasa bahwa ia tahu mengapa Rome melakukan self-harming, namun ia hanya ingin memastikannya. Entah mengapa ia menjadi sepeduli ini. Jelas-jelas Rome bukan siapa-siapanya, hanya teman biasa. Ia juga merasa tidak terlalu dekat dengan lelaki itu. Namun, Rome berhasil mengingatkannya dengan masa lalunya di Bandung. Masa lalu yang sebenarnya ingin ia buang jauh-jauh dari ingatannya.
Dan sejujurnya, ia tidak suka ketika ia kembali mengingat masa lalunya itu karena Rome.
"Lo udah tau kan Va jawabannya? Saat lo ngembaliin varsity dan ngasih gua obat malem itu, lo denger semuanya dengan jelas kan apa yang terjadi di rumah gua? Lo ada di sana, dan lo pasti bisa menyimpulkan kenapa gua begini," jelas Rome. Kentara sekali dari suaranya bahwa ia sedang menahan emosi. "I'm depressed."
Untuk sesaat, mereka hanya saling diam. Rome menunduk, meremas rambutnya. Kepalanya mulai sakit dan kedua tangannya kembali bergelenyar, membuatnya sedikit sulit untuk berpikir jernih. Topik pembicaraannya dengan Rava kali ini membuatnya gelisah dan merasa tidak aman. Rasa panik itu sedikit demi sedikit menyerangnya, membuatnya meringis tertahan. Tidak, ia tidak boleh lepas kendali di tempat umum seperti ini. Ia tidak menyangka bahwa pembicaraan mereka akan jadi serumit ini.
"Tapi lo nggak harus nyakitin diri lo sendiri kayak gini, Ro..." ucap Rava lirih. "Lo bisa ngelampiasin itu ke hal lain. Lo bisa cerita ke temen-temen lo, atau nggak, lo bisa genggam es batu sekuat-kuatnya kalo lo lagi kalut, lo juga bisa—"
Rome menggeleng, tersenyum lemah. "Lo gak ngerti, Va."
Rava mengepalkan kedua tangannya tanpa ia sadari. "Gue emang gak pernah ngerasain apa yang lo rasain. Tapi cara lo kayak gini tuh salah besar, Rome. Ini berbahaya," balas Rava. "Gue paham gimana posisi lo, perasaan lo, kenapa lo bisa jadi kayak sekarang. Pasti itu berat banget buat lo. Gue paham.... Tapi, please, nyakitin diri sendiri juga gak akan bikin masalah lo kelar. Itu hanya akan bikin lo makin sakit, Rome. Dan itu bukan solusi."
"Ya terus gua harus apa? Gua gak bisa berhenti," tukas Rome cepat. Rahangnya mengeras dan pandangannya menajam bercampur frustrasi. "Gak bisa, Va. Susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...