11

4.7K 423 4
                                    

Jantung Rava tak henti-hentinya berdegup keras, terlebih ketika Rome mengunci pintu kamarnya dengan rapat. Rava membayangkan banyaknya kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Otaknya buntu seketika. Bagaimana jika Rome berbuat yang aneh-aneh padanya? Bagaimana jika ia tidak dapat keluar dari sini? Bagaimana jika....

Rava menghentikan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di benaknya. Ia memberanikan diri menatap Rome. Genggaman tangannya sudah terlepas. Lelaki itu membenturkan kepalanya dengan pelan di daun pintu. Napasnya terengah. Ia memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya menatap wajah Rava yang ketakutan. Untuk sesaat, mereka bersitatap dalam diam.

"Ro ... gue mau pulang." Rava berkata lirih. Ia meremas jari-jemarinya dengan gelisah. Dan Rome tentu saja menyadari hal tersebut.

Rome menggeleng sebagai balasan. Ini berbahaya. Jika kedua orang tuanya ada di rumah secara bersamaan seperti ini, kemungkinan besar mereka akan memulai perang mereka (lagi), sama seperti malam-malam sebelumnya. Dan yang lebih parahnya lagi, ada Rava di sini. Jika mereka bertengkar dan mengetahui ada orang asing di rumah mereka, bukan tidak mungkin bahwa Rava akan diserang juga, terseret dalam pertengkaran tidak penting mereka. Bukan penyerangan dengan fisik, namun dengan kata-kata.

Entahlah, Rome tidak mau Rava tersakiti. Namun, ia juga merasa bodoh karena malah membawa gadis itu ke kamarnya. Rome sama sekali tidak dapat berpikir jernih karena sekarang ia menyadari tidak ada pilihan yang lebih baik. Jika Rava bertahan di sini pun tidak menutup kemungkinan bahwa gadis itu akan mengetahui seluruh rahasianya.

"Rome ... gue mau pulang!" Dengan sedikit teriakan, Rava kembali membuyarkan lamunan Rome.

"SSSTT!!!" Rome bergegas menghalangi pintu kamarnya dan menahan tangan Rava sembari meletakkan telunjuknya di depan bibir gadis itu. "Diem dulu—"

"Apa sih?! Lepas—"

"TERUS AJA TERUS KAMU SALAHIN AKU! BISA GAK SIH KAMU GAK EGOIS, SEKALI AJA?! KALO NGGAK KARENA NAMA PERUSAHAAN, AKU UDAH MINTA CERAI SAMA KAMU DARI DULU, MAS!!!"

"KAMU MAU CERAI SEKARANG?! AYO! DARI AWAL KITA NIKAH, ITU JUGA UDAH MERUPAKAN KESALAHAN. KAMU TUH CUMA BAWA SIAL BUAT AKU, SAMA AJA KAYAK GRENZA! NYESEL AKU HIDUP SAMA KAMU DAN GRENZA. KALIAN CUMA PARASIT DI HIDUP AKU!!!"

Rome meringis mendengar itu. 'Nah kan...' batinnya. Sementara itu, Rava langsung membeku, terbelalak di tempatnya. Ia menatap Rome yang juga menatapnya dengan tatapan memohon. Napasnya tersengal dan seluruh tubuhnya gemetaran. "Ro—"

Rome menutup mulut Rava dengan sebelah tangannya yang gemetar hebat, lantas menarik Rava lembut agar duduk—berjongkok lebih tepatnya—di hadapannya. "D-diem dulu, oke?"

Rava yang masih shock hanya bisa mengangguk patah-patah mendengar suara bergetarnya Rome. Entah mengapa kekuatannya untuk berontak dari cengkeraman lelaki itu seakan-akan sirna. Bahkan untuk menepis tangannya yang bergetar pun Rava merasa tidak sanggup. Sungguh, ia tidak menyangka bahwa kunjungannya akan berakhir seperti ini. Ada apa sebenarnya di luar sana? Apa yang sedang terjadi?

Dan setelahnya, hanya suara teriakan, bentakan, makian, cacian, dan benda-benda yang berjatuhan yang terdengar di telinga kedua manusia itu. Rome menunduk. Tubuhnya terus bergetar hebat. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Kepalanya terasa berputar-putar dan telinganya berdenging keras. Napasnya semakin tidak teratur, membuatnya sesak. Oh, Tuhan, ia tidak boleh lepas kendali sekarang, ia harus tenang!

Rome menurunkan tangan kirinya yang ia gunakan untuk menutup mulut Rava. Rava tidak boleh menyadari kondisinya yang seperti ini. Ia juga melepaskan genggaman tangannya, kemudian memeluk dirinya sendiri dengan erat sembari menunduk dalam, berharap rasa yang tidak nyaman itu segera sirna. Sementara itu, di luar sana masih terdengar keributan-keributan yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Rava.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang