Rava menatap kosong ke arah Rome yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakitnya. Ia melirik kedua orangtuanya yang sedang berbincang dengan Dean, seakan-akan menginterogasi anak itu soal Rome. Entah di mana Vigo, Raka, dan Alvin. Saat tiba di ruang rawat Rome setengah jam yang lalu, Dean sudah ada di sini, duduk di atas bangku di sebelah ranjang Rome sembari mengutak-atik ponselnya.
"Jadi ... kamu juga gak tau keberadaan orangtua Rome di mana?" terdengar suara Hadi yang bertanya kepada Dean untuk yang kedua kalinya, bermaksud memastikan. Dean kembali menggeleng lemah. "Kamu pernah gak ketemu sama orangtuanya?" tanya Hadi lagi.
Dean terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Saya pernah ketemu sama ibunya, itu pun udah agak lama, Om. Tapi saya gak pernah ketemu sama ayahnya."
"Dan kamu sama sekali gak tau pekerjaan ataupun kantor tempat ibunya bekerja?"
"Saya gak tau, Om. Sama sekali," jawab Dean lirih. "Saya bingung banget dari kemaren, temen-temen yang lain juga. Pihak rumah sakit terus ngedesak kita untuk ngehubungin keluarga Rome. Selain untuk bicara sama dokter, pihak rumah sakit juga pasti butuh biaya administrasinya."
Hadi menghela napas berat, kemudian memandang Martha. "Ini jadi agak sulit."
Martha mengalihkan wajahnya ke Dean, "Kami bakal bantu sebisa kami. Untuk urusan administrasi, biar kami yang urus dulu. Biar kami yang menghadap dokter nanti sebagai orangtua Rome. Mungkin ini yang terbaik untuk sekarang."
Dean memandang Martha dan Hadi tak percaya. Kedua matanya berbinar-binar. "Serius, Om? Tante?"
Martha dan Hadi mengangguk bersamaan sembari tersenyum lembut. Rava tersenyum tipis. Kedua orangtuanya sudah membicarakan hal ini kepadanya kemarin malam.
"Kalau begitu, kami tinggal dulu ya untuk menghadap dokter dan mengurus administrasinya," ucap Hadi sembari beranjak, diikuti oleh Martha. Dean dan Rava mengangguk, membiarkan mereka keluar dari ruang rawat inap Rome.
Keadaan sunyi sesaat setelah kepergian Martha dan Hadi. Dean tetap duduk di sofa, sementara Rava tetap di tempatnya, duduk di atas bangku di sebelah ranjang Rome.
"Orangtua lo baik banget," Dean membuka suara. Rava menoleh padanya. "Makasih ya. Gue bener-bener buntu, gue gak tau harus apa, apalagi soal administrasinya. Gue gak bisa cerita ke orangtua gue soal ini."
Rava tersenyum tipis, "Santai," jawabnya pendek. "Demi Rome."
Dean hanya mengangguk. Entah mengapa keadaan menjadi agak canggung sekarang. Ia tidak terlalu dekat dengan Rava. Ia tidak tahu harus membangun percakapan yang seperti apa bersama gadis manis itu.
"Oh iya, Yan," suara Rava membuat Dean kembali menoleh. "Yang tau soal kebiasaan Rome sebenernya nggak cuma lo doang," Rava melanjutkan kalimatnya. Entah setan apa yang merasuki dirinya hingga ia memutuskan untuk berterus terang kepada Dean. Ia tidak sanggup menyembunyikannya lebih lama lagi.
Dan sesuai tebakannya, ekspresi Dean langsung berubah aneh. "A-apa? Maksud lo? Siapa?"
"Gue," jawab Rava, berusaha setenang mungkin. Dean nampak membeku sesaat, menahan diri untuk tidak memotong ucapan Rava. "Gue tau lebih dulu dari lo, secara nggak sengaja juga. Sejak awal gue masuk ke OHS dan ketemu Rome, gue emang udah curiga sama dia. Kenapa tangannya selalu ditutup almet dan nggak pernah dia lepas? Kenapa setiap olahraga dia selalu pake t-shirt lengan panjang? Dan gue dapet jawabannya saat gue hampir jatoh dari rooftop sekolah, saat dia nyelamatin gue. Dia minta gue untuk rahasiain hal itu, sama kayak apa yang dia minta ke lo."
Dean menghela napas berat setelah mendengar penjelasan Rava. Ternyata gadis itu tahu rahasia besar ini lebih dulu darinya. Entah apa yang dirasakannya sekarang. Marah? Lega? Bingung? Entahlah, ia tak yakin. Permasalahan ini membuat kepalanya pening sejak kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...