Orang itu turun dari motornya, menstandarnya dengan cepat, lantas berteriak keras, "WOY!" Kemudian melempar helmnya dengan kencang, telak mengenai kepala salah satu preman.
Dan setelahnya, Rava hanya mengingat bahwa ia jatuh terduduk di atas aspal yang keras. Ia meringis menatap orang itu yang berjuang melawan empat orang preman dengan tubuh besar-besar sendirian. Ia terus menangis ketakutan. Sekarang yang ia takuti bukanlah karena dirinya akan diapa-apakan oleh keempat preman tadi, namun lebih karena ia khawatir dengan orang itu yang telah menyelamatkannya. Setiap pukulan yang mengenai tubuhnya membuat Rava refleks memejamkan kedua matanya dengan erat, meringis tertahan. Ia tidak tega, tidak sanggup melihat orang itu kesakitan.
Beberapa saat kemudian, keheningan pun menyapa. Rava membuka kedua matanya. Telinganya berdenging. Ia masih tidak dapat berpikir dengan jernih akibat apa yang baru saja tejadi. Ia berusaha untuk bangkit, menatap orang itu yang sedang mengusap darah yang berasal dari sudut bibirnya yang robek. Orang itu menatapnya dan langsung menghampirinya, membantunya berdiri. Keempat preman tadi entah sudah lari ke mana.
"Rava, lo baik-baik aja? Ah, gak mungkin lo baik-baik aja sekarang," ucapnya sembari memegang erat kedua lengan atas Rava. "Ada yang luka gak?"
"Hiks, hiks, Rome...." Rava masih menangis, semakin keras malah, lantas entah disadarinya atau tidak, ia langsung menjatuhkan tubuh mungilnya ke tubuh Rome, memeluk lelaki itu erat, menumpahkan seluruh ketakutan dan kekhawatirannya. Tubuhnya gemetaran. Ia terus terisak, memendamkan wajahnya yang penuh air mata ke dada bidang Rome. "Ro ... gue takut banget, hiks...."
Hati Rome terenyuh seketika. Ia membiarkan Rava menangis di pelukannya. Rasa bersalah menyelimuti dirinya. Ia membalas pelukan gadis itu, mengusap kepalanya dengan lembut. "Iya, iya, gua tau. Maafin gua ya, lagi-lagi gua bikin lo berada dalam keadaan berbahaya kayak gini. Gua bener-bener minta maaf, lo pasti kaget banget. Ada yang luka atau yang sakit gak?"
Rava menggeleng. Ia terus memeluk Rome dalam waktu yang cukup lama, dan Rome membiarkannya, balas memeluk gadis itu dengan erat. Entah mengapa, berada di pelukan Rome membuat Rava merasa terlindungi. Rasa takutnya hilang perlahan-laha, dan ia merasa sangat nyaman berada di pelukan itu.
***
Rome menjatuhkan dirinya di atas ranjang, membentuk bintang raksasa sembari memejamkan kedua matanya. Ia merasa sangat lelah hari ini. Seluruh tubuhnya sakit semua akibat melawan keempat preman tadi. Ia membuka kedua matanya, menatap langit-langit kamarnya. Wajahnya babak-belur akibat terkena pukulan preman-preman tadi, namun itu bukan masalah baginya. Sudah lama ia tidak merasakan sakit seperti ini.
Sejujurnya, ia merindukan saat-saat berbaku-hantam dengan orang. Rasanya luar biasa. Terakhir ia menghadapi bahaya seperti tadi adalah saat ia duduk di kelas 11, ketika melawan geng motor lain untuk menyelamatkan Vigo yang habis dikeroyok oleh mereka. Namun pada saat itu, ia dan anggota ZC lainnya sedikit terlambat menyelamatkan Vigo karena lelaki itu sudah tergeletak tak berdaya akibat tusukan pisau yang dilayangkan oleh salah satu anggota lawan. Beruntung Vigo masih dapat diselamatkan, meskipun ginjal kirinya harus mendapat kerusakan serius akibat itu (read: EX).
Rome bangkit dengan susah payah. Ia kembali teringat Rava; wajah ketakutannya, tangisannya, pelukannya, tubuh bergetarnya. Rome mengacak rambutnya dengan frustrasi. Sudah dua kali ia menempatkan gadis itu dalam posisi yang berbahaya. Pertama, insiden di rooftop sekolah. Kedua, di jalanan tadi. Ia benar-benar merasa bersalah.
Untuk beberapa saat, Rome menatap tubuhnya sendiri yang masih dibalut oleh seragam sekolahnya yang kini sudah agak kotor. Wajahnya sedikit memanas mengingat saat-saat Rava memeluknya dengan erat. "Pasti tu cewek ketakutan banget," ucapnya pelan. Tak lama kemudian, ia bangkit dan meraih handuknya yang dijemur di depan jendela kamar dan pergi mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...