PRAAAANNGG!!!
Untuk pukulan yang terakhir kalinya menggunakan batu berukuran cukup besar yang mereka temukan di taman kecil rumah Rome, Vigo, Raka, Dean, dan Alvin pun berhasil memecahkan kaca jendela itu, membuat lubang yang cukup besar untuk membuat tubuh mereka muat masuk ke dalam sana. Mereka berlima termasuk Rava bergegas bergantian memasuki kamar Rome yang gelap gulita. Bau asing yang menguar dari kamar itu membuat kelimanya hampir tersedak.
"Ini kayak bau..." Alvin menggantung kalimatnya, tak sanggup melanjutkannya ketika kedua matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di lantai, sedikit tertutup ranjang Rome yang besar. "I-itu...."
Jantung Rava berdegup cepat. Gadis itu segera mendekati saklar lampu dan menyalakannya. Kamar Rome pun terang-benderang, memperlihatkan setiap sudut kamarnya yang berantakan.
Namun, ada yang lebih membuat mereka terkejut daripada kondisi kamarnya.
Vigo mundur beberapa langkah menatap sesuatu di depan matanya. Ia langsung membalik tubuhnya, menutup seluruh wajahnya, menahan rasa mual yang tiba-tiba menyerangnya. Raka melotot lebar, lantas menutup mulutnya tak percaya. Alvin hanya diam di tempat. Wajahnya shock berat.
"R-Rome..." Dean jatuh terduduk, menatap kondisi salah satu sahabat baiknya yang mengenaskan: Rome tergeletak tak berdaya di samping kanan ranjangnya. Tak sadarkan diri, tentu saja. Darah di mana-mana, mengucur deras dari kedua lengannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya hampir membiru.
Ya, yang dilihat Rava melalui celah sempit tirai yang sedikit terbuka tadi adalah kepala bagian belakang Rome, sementara wajahnya menghadap pintu kamarnya. Bagian leher sampai kakinya tertutup oleh ranjangnya.
Rava tak kuasa menahan tangisnya. Kedua kakinya lemas. Ia jatuh terduduk di samping Rome, mengusap pipinya yang dingin. "R-Rome ... hiks, hiks. Kenapa lo bisa begini?"
Raka buru-buru mendekati mereka, begitu juga Alvin dan Dean, mengelilingi tubuh Rome. Vigo hanya berdiri beberapa langkah dari mereka, masih tak kuasa melihat keadaan sahabatnya. Bagaimana tidak? Luka-luka di kedua tangannya - atau bisa jadi di sekujur tubuhnya - terekspos sempurna. Vigo tidak kuat melihatnya, khususnya kedua lengan Rome karena lelaki itu mengenakan t-shirt lengan pendek. Darah kering berceceran di sekitarnya, lengkap dengan sebuah silet yang ujungnya bercahaya akibat pantulan sinar lampu kamar Rome. Dan satu lagi yang menarik perhatian mereka: tablet-tablet obat berwarna putih yang berserakan di sekitarnya. Vigo meraih tabung tempat tablet tersebut, membaca sekilas kertas yang tertempel di luar tabung bening tersebut.
"Ini obat antidepresan," ujar Vigo pelan. Keempat temannya sontak menatapnya, dan Vigo menunjukkan tabungnya. "Dia ngonsumsi obat antidepresan. Jangan-jangan..." Vigo tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Keempat remaja lainnya menghela napas berat, lantas mengembalikan atensi mereka ke Rome.
Raka dengan sigap memeriksa denyut nadi Rome di lehernya, kemudian menunduk untuk merasakan detak jantung dan napasnya. Keempat temannya menunggu dengan cemas. Raka menegakkan tubuhnya, menatap teman-temannya. "Masih hidup, tapi detak jantungnya udah lemah banget dan napasnya gak teratur. Mungkin dia ngelakuin ini beberapa jam yang lalu. Telepon ambulans sekarang juga!"
"Biar gue aja," ucap Vigo yang langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya.
***
Keheningan menyelimuti kelima remaja yang menunggu di depan ruang unit gawat darurat itu. Rava terduduk lemas di lantai. Pikirannya blank. Ia terus-menerus menangis sejak tadi, memikirkan Rome. Bagaimana bisa Rome melakukan hal itu? Apakah ia sengaja melakukannya?
Raka yang melihat Rava seperti itu langsung mendekatinya dan berjongkok di sebelahnya, mengusap lembut bahunya, berusaha menenangkannya. "Udah, lo gak usah nangis lagi. Sekarang kita berdoa aja yang terbaik buat Rome sekalian mikirin gimana cara ngehubungin orangtuanya," ucap Raka lirih. Rava hanya mengangguk sembari mengusap air mata di pipinya. Tidak bisa. Ia tidak bisa berhenti menangis sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...