"Ayo!"
"Eh, apaan sih, She?!"
"Buruan, ish! Cepet gak?!"
"Mau ke mana sih?!"
"Udah gak usah berisik, bisa?"
"Tapi ini mau ke mana?! Mau ngapain dah?!"
"Diem gak?! Cepetan iiihh!!"
Rava menoleh ketika terdengar keributan dari kejauhan, begitu juga dengan empat orang lainnya. Gadis itu bersidekap, menahan senyum melihat Vigo yang ditarik-tarik sedemikian rupa oleh Sherlyn agar tidak kabur.
"Kita mau ke..." kata-kata Vigo terhenti seketika saat menatap Rava, Raka, Dean, Alvin, dan Kinta yang sudah berkumpul di parkiran sekolah. "... mana?" lanjutnya. Ia langsung terdiam, memasang wajah tak enak. Entah mengapa suasana langsung canggung begitu saja. Sherlyn di sebelahnya masih menggenggam erat tangannya agar lelaki itu tidak kabur.
Sebenarnya kecanggungan itu sudah datang sejak Rava, Dean, Alvin, Raka, dan Kinta berkumpul di sana. Dean yang membujuk Alvin mati-matian untuk berkumpul, dan Rava serta Kinta yang membujuk Raka. Sebenarnya Kinta sih yang mempunyai peran lebih dalam memaksa Raka agar lelaki itu mau berkumpul di parkiran atas permintaan Dean. Dean dan Rava harus mengajak mereka ke rumah sakit tempat Rome dirawat untuk membicarakan masalah mereka mumpung Rome sudah sadar dari komanya, dan Rava berinisiatif meminta tolong kepada Kinta dan Sherlyn untuk ikut membujuk Raka dan Vigo. Beruntungnya Dean mengizinkan Sherlyn dan Kinta untuk ikut andil dalam masalah ini.
Rava telah menceritakan semuanya kepada Sherlyn dan Kinta tentang masalah Rome sekaligus hubungannya dengan keempat sahabatnya yang merenggang. Reaksi mereka terkejut, tentu saja. Dan mereka bersedia ketika Rava meminta tolong kepada mereka untuk membujuk Vigo dan Raka agar mau berkumpul dan pergi ke rumah sakit tempat Rome dirawat, karena tak mungkin Rava yang membujuk mereka berdua sendirian. Sementara itu, Dean bertugas membujuk Alvin karena mereka satu kelas.
Vigo menghembuskan napas pelan, lantas membuang wajah. Sherlyn yang ada di sebelahnya menegurnya dengan senggolan tangan, namun tidak digubris oleh lelaki itu.
"Maaf ya karena gue harus ngumpulin kalian secara paksa kayak gini," Dean memulai percakapan. "Tapi gue gak bisa diem aja sementara persohiban kita lagi kenapa-kenapa. Rome udah sadar kemarin malem kata Rava, dan kita harus ke rumah sakit—"
"Gue mau balik," potong Raka. "Lagian setelah apa yang udah terjadi, ternyata lo masih nganggep gue, Vigo, sama Alvin sohib, Yan? Rome juga?"
Dean sedikit menggeram mendengar jawaban Raka. "Ka," ucapnya, berusaha setenang mungkin. "Gue tau gue salah, makanya gue minta kalian ngumpul untuk ngelurusin masalah ini. Gue juga tau Rome salah, tapi inget, dia korban yang sebenernya di sini. Lagian apa kalian betah diem-dieman kayak gini, hah?"
Mereka semua terdiam, terlebih-lebih Raka, Vigo, dan Alvin.
"Ehm, Guys, gue emang awalnya gak tau apa-apa, dan saat Rava ceritain semuanya ke gue sama Kinta pun gue jujur aja masih gak ngerti, shock. Gue paham perasaan kalian pasti kayak gue, lebih-lebih malah. Tapi please lah, Rome sahabat kalian. Kalian gak bisa ngehindar dari masalah dengan cara kayak gini. Masa saat sahabat sendiri lagi sakit dan bener-bener butuh kalian, kalian nggak ada di samping dia?
"Gue tau kalian sakit hati dan ngerasa dibohongin, gak dianggep, segala macem. Tapi ini Dean udah berbaik hati ngajak kalian untuk bicarain masalah ini baik-baik loh, karena gue yakin kalian semua pun nggak mau kan sampe persahabatan kalian hancur? Kalo ada masalah tuh diomongin baik-baik, bukannya menghindar dan lari gitu aja. Tolong lah, untuk kali ini, buang jauh-jauh keegoisan kalian dulu," Sherlyn menutup kata-katanya. Vigo, Alvin, dan Raka masih tetap terdiam, mencerna kata-kata gadis itu. Walaupun mereka tidak mau mengakuinya, namun mereka tahu bahwa Sherlyn benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...