24

3.7K 322 4
                                    

Rava sedang melahap sarapan paginya ketika tiba-tiba ibunya bertanya, "Neng, temen kamu yang itu nggak mampir ke sini lagi? Apa kabar dia?"

Rava memelankan gerakan mengunyahnya, lantas balik bertanya dengan wajah datar, "Temen yang mana?" Walaupun demikian, ia tahu benar siapa yang dimaksud dengan 'temen kamu yang itu' yang dikatakan oleh Martha, ibunya. Padahal Martha sudah seringkali bertanya demikian, dan respon dari Rava pun selalu sama; pura-pura tidak ingat.

"Ih, yang itu tuh. Siapa namanya? Yang cowok, yang baik banget anaknya, kasep lagi." Dan Martha selalu lupa namanya.

Rava hanya melanjutkan sarapan paginya dengan malas, lantas berkata, "Temen Rava di sini kan udah mulai banyak, Ma."

Martha cemberut lucu. Tiba-tiba, Nabilla nyeletuk, "Kakak, Kak Lome kok gak ke sini lagi?"

"NAH! Itu dia maksud Mama. Si Rome." Seolah-olah muncul lampu bohlam dari dalam kepalanya, Martha langsung menyambar. Sementara Hadi—ayahnya—hanya tertawa menanggapi percakapan ringan itu.

Kini Rava yang gantian cemberut lucu. "Gak usah nanya-nanya tentang Rome lagi, ah."

Martha menyipitkan kedua matanya, seolah-olah sedang mencari suatu keanehan di nada bicara dan ekspresi wajah Rava yang sedikit berubah. "Kenapa emangnya? Mama kan cuma nanya, Neng."

"Rava males jawabnya," balas Rava, sekeras mungkin menyembunyikan sesuatu yang aneh pada dirinya ketika mendengar nama Rome disebut.

Martha langsung menegakkan tubuhnya, lantas tersenyum menggoda. "Anak Mama lagi patah hati ya? Apa jatuh cinta?"

Rava refleks tersedak minumannya, terbatuk beberapa kali. Hadi yang ada di sebelahnya langsung menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, "Pelan-pelan Neng kalo minum...."

Rava meringis tertahan. Wajahnya memanas mendengar pertanyaan Martha, namun ia memilih untuk menggeleng dan berkata, "Mama gak usah aneh-aneh, deh. Pa, cepetan sarapannya, anter Rava sekolah. Nabilla juga, jangan lama-lama." Setelah itu, ia bangkit dari duduknya dan segera menyambar tasnya, kemudian menyalami tangan Martha dengan cepat dan beranjak ke ruang depan, menunggu di sana.

'Kayaknya dua-duanya deh, Ma.'

***

Rome berjalan menuju kelasnya dengan malas. Ia mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakkan—tidak, kali ini lebih acak-acakkan dari biasa. Tadi malam ia sempat terbangun dari tidurnya beberapa kali, dan itu amat sangat mengganggunya. Ia lelah. Ketika melewati kelas XII IPS 2—kelasnya Dean, Alvin, dan Carla—langkahnya terhenti. Carla sudah datang, sedang duduk di bangkunya sembari menulis sesuatu di buku tulisnya.

Rome terdiam beberapa saat di depan pintu masuk kelas XII IPS 2, menatap Carla. 'Apa gua minta maaf sekarang aja ya?' batinnya. 'Gua bener-bener harus bicara sama dia,' lanjutnya. Akhirnya, setelah mengumpulkan tekad, ia pun memasuki kelas itu, menghampiri meja Carla.

Carla yang pada awalnya tidak menyadari keberadaan Rome sebelum lelaki itu memasuki kelasnya mendongak, menatapnya. "Ehm, Hai, Ro," sapanya pendek, kemudian kembali fokus ke buku tulisnya. Sepertinya ia sedang mengerjakan PR-nya.

"Kebiasaan, ngerjain PR selalu pagi," tukas Rome pelan. Carla hanya tersenyum tipis tanpa menatap Rome. Rome menghela napas sekali. Basa-basinya tidak berjalan lancar kali ini. "La, aku mau ngomong."

Carla menatap Rome, kemudian berkata, "Jangan sekarang, aku lagi sibuk. Nanti aja." Setelahnya, Carla bangkit ketika Rome hampir membuka mulutnya untuk membalas kata-katanya. Ia menghampiri meja salah satu siswa yang juga sedang sibuk dengan buku dan ponselnya. "Fal, liat nomor sembilan dong."

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang