"G-gimana tanggapan lo tentang orang yang suka sama lo?"
Pertanyaan yang dilontarkan gadis mungil di hadapannya ini sukses membuat Rome sedikit terkejut. Rome terdiam beberapa saat, menatap dalam kedua mata Rava. Ia tahu apa maksud Rava bertanya demikian. Ia sudah cukup berpengalaman berhadapan dengan pertanyaan semacam itu. Seulas senyuman terbit di wajahnya. "Biasa aja," jawabnya pendek.
Rava mengernyitkan keningnya, tidak mengerti. "Maksudnya? Lo ... nggak marah? Atau ... nggak ngelarang gitu misalnya?"
Rome kembali tersenyum, kemudian menjawab, "Bukan kuasa gue untuk ngebuat orang suka atau benci sama gue. Gue sendiri pun nggak pernah minta atau ngelarang orang lain untuk suka maupun benci sama gue. Jadi ya gapapa. Bukan hak gue itu sih istilahnya. Tapi sebaiknya sih jangan."
Rava mendadak pias. Kedua matanya membulat seketika. "Loh? Emangnya kenapa?"
"Soalnya gue gak normal."
Rava dan Rome sama-sama terdiam selama beberapa detik setelah Rome menjawab demikian. Rome tetap tersenyum, namun hal itu malah membuat Rava seakan-akan tertusuk hatinya melihat Rome berusaha untuk tersenyum setulus itu di saat ia sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkannya untuk tersenyum.
Rava menggeleng, kemudian berkata, "Ro, lo gak boleh ngomong kayak gitu—"
"Jaga diri sendiri aja gue gak bisa, Va. Apalagi jagain orang lain?" potong Rome cepat. Lelaki itu menunduk, tidak ingin Rava menyadari wajah sedihnya.
Rava terdiam, ikut menunduk. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan yang diajukannya itu malah membuat Rome menjadi sedih seperti ini. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak mengatakan hal itu.
Tiba-tiba, Rome mengangkat tangan kanannya yang ditempeli penuh oleh plester, kemudian mengelus lembut puncak kepala Rava sembari tersenyum. "Makasih ya, Va, karena lo udah mau jadi temen yang baik buat gue. Gue bener-bener seneng dan bersyukur temenan sama lo. Gue doain lo cepet dapet cowok, hahaha."
Rava menatap Rome cepat, membuat Rome kembali menarik tangan kanannya. Kemudian Rava balik bertanya, "Kalo gue gak mau gimana?"
"Hah? Maksud lo apaan? Lo belok? Haha," Rome berusaha untuk mencairkan suasana, namun sepertinya tidak akan mempan dalam keadaan seperti sekarang.
Rava memejamkan kedua matanya beberapa saat, kemudian membukanya kembali dan menatap Rome dalam. "Gue cuma mau satu cowok, tapi cowok itu mustahil buat gue gapai, padahal jelas-jelas dia ada di depan mata gue sendiri. Gue harus apa?"
Rome terdiam beberapa saat, mencerna kata-kata Rava. Ia mengerti maksud gadis itu. Rava menyatakan perasaannya kepadanya, dengan cara dan kata-kata yang cukup unik baginya. Seakan-akan gadis itu mengatakannya tidak secara langsung. Hanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.
"Gimana caranya supaya gue bisa jadi seseorang seperti cewek lain yang dia sayang?" Rava kembali mengajukan pertanyaannya.
Rome menggeleng, kemudian menjawab, "Gak perlu. Karena cowok itu maunya lo tetep jadi diri lo sendiri, bukan orang lain. Cowok itu nggak bakalan bisa jagain lo ataupun jagain cewek lain yang dia sayang dengan baik. Cowok itu nggak kayak cowok-cowok lainnya, Va. Dia beda. Dia gak normal. Dia terlalu lemah dan rapuh, dan dia cuma bisa jadi beban berat untuk orang lain. Dia butuh perlindungan, tapi dia nggak bisa ngelindungin orang lain. Lo dan cewek yang dia sayang, terlalu sempurna di mata dia. Dan sedikitpun dia sama sekali gak punya kesempurnaan itu."
Rava terdiam, tercekat mendengar kata-kata Rome yang amat menusuknya. Rome tahu apa maksudnya. Itu membuat Rava merasa lega, sesak, kecewa, kaget, dan seakan-akan dihantam oleh sebuah palu raksasa dengan keras—membuatnya pening, dalam waktu yang bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...