49

3.2K 274 12
                                    

Keesokkan harinya....

Rava mematut diri di depan cermin. Ia melirik jam dinding sekilas. Pukul 08.00. Ia tersenyum tipis. Hari ini ia akan pergi ke rumah sakit tempat Rome dirawat. Memang tidak sepagi kemarin, namun hal itu tidak jadi masalah.

Rava meraih tas selempang kecilnya yang berwarna soft pink, kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Nampak Martha yang sedang menonton tayangan televisi pagi tentang kuliner sembari meminum secangkir teh hangat. Rava segera menghampirinya dan menyalami tangannya.

"Mau ke Rome lagi?" tanya Martha. Rava tersenyum, lantas mengangguk. Wajahnya cerah sekali pagi ini. "Ya udah, hati-hati ya. Beneran nggak mau Mama anter?"

"Nggak usah, Ma. Aku naik angkot aja nanti. Gak terlalu jauh ini," jawab Rava. Martha hanya mengangguk.

***

Selama perjalanan menuju ruang rawat inap Rome, senyuman tak lepas-lepas dari wajah Rava. Gadis itu menghirup aroma tiga tangkai bunga mawar merah yang sengaja dibelinya di toko bunga tak jauh dari rumah sakit tadi. Harum. Kemarin ia memang melihat bunga lili yang disimpan di vas bunga di kamar Rome sudah mulai layu, dan Rava pun berinisiatif untuk mengganti bunga lili tersebut dengan bunga mawar yang dibawanya.

'Semoga hari ini bisa lebih indah dari kemarin,' Rava berharap dalam hati. Ia sungguh tidak sabar untuk bertemu Rome dan menonton film bersama lelaki itu lagi. Bahkan ia membawa flashdisk-nya yang berisi banyak film favoritnya. Sembari berjalan menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit, Rava menyusun kegiatan-kegiatan yang akan ia lakukan dengan Rome; menyuapinya makan, menemaninya terapi, menonton film, dan mungkin jika diperbolehkan, ia akan mengajak Rome berjalan-jalan ke taman rumah sakit di lantai bawah dengan menggunakan kursi roda pastinya. Membayangkannya saja Rava sudah sangat tidak sabar.

Setibanya di depan pintu ruang rawat inap Rome yang sedikit terbuka....

Rava menghela dan menghembuskan napas beberapa kali, berusaha untuk rileks. Setelah ia melewati pintu itu, ia akan tersenyum manis dan menyapa Rome. Gadis itu menyiapkan senyumannya yang ia harap tidak terlihat gugup, kemudian sedikit mendorong pintu itu agar terbuka. Kedua mata kucingnya menatap sesuatu di depan sana.

Dan senyumannya pun hilang perlahan-lahan.

***

Rava berjalan cepat mejauhi ruang rawat inap Rome. Ia akan pulang sekarang juga. Niatnya untuk bersenang-senang dengan lelaki itu langsung sirna. Semua yang telah ia ekspektasikan hancur begitu saja. Entah mengapa ia merasa sangat bodoh karena sudah berharap yang tidak-tidak. Tiga tangkai bunga mawar di tangan kanannya ia genggam dengan erat. Sekeras mungkin ia menahan tangisannya, namun akhirnya air mata itu jatuh juga menuruni pipinya.

'Bodoh,' makinya dalam hati. Dengan terburu-buru ia membuka pintu kaca utama rumah sakit. 'Apaan sih yang gue pikirin? Ngapain sih gue pake nangis segala?' Rava menggeram, menunduk sembari terus berjalan keluar dari area rumah sakit. Ia tidak ingin orang-orang melihatnya menangis. 'Harusnya gue sadar dari awal. Harusnya gue tau diri. Mau semanis apapun perlakuan Rome ke gue, pada akhirnya dia bakal balik lagi ke Carla.' Rava berhenti berjalan. Ia mengusap air mata yang kembali jatuh dari kedua matanya dengan kasar.

Ya, saat ia membuka sedikit pintu ruang rawat inap Rome tadi, pemandangan yang pertama kali terpampang di matanya adalah seorang gadis berambut panjang kecokelatan sedang duduk di samping ranjang Rome dan membelakangi pintu masuk. Gadis itu menggenggam erat tangan Rome yang sedang tertawa lepas. Ia nampak sangat bahagia. Gadis itu juga tertawa, dan ketika gadis itu mulai berbicara, Rava baru sadar bahwa ia adalah Carla. Ia mengenali suaranya.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang