51

2.9K 263 14
                                    

Rava berjalan lemas ke arah ruang rawat inap Rome. Jantungnya berdebar tak karuan sejak tadi. Ia sama sekali tidak bisa menebak bagaimana wajah Rome nanti saat ia tiba di ruang rawat inapnya. Ini buruk. Ini sangat buruk baginya. Ia yakin Rome pasti akan menginterogasinya ini-itu, menanyakan alasan sebenarnya mengapa ia tidak pernah berkunjung ke rumah sakit tempatnya dirawat lagi. Rava tidak mungkin berkata jujur bukan mengenai alasan sebenarnya?

Beberapa saat kemudian, gadis itu akhirnya tiba di depan pintu ruang rawat inap Rome. Ia menghela dan menghembuskan napas beberapa kali. Entah apa yang sedang menunggunya di dalam sana. Ia tidak ingin berpikir lebih jauh lagi. Itu semua hanya membuat mood-nya semakin buruk. Apapun yang akan terjadi, mau tidak mau ia harus menghadapinya. Ia tahu pasti itu.

Cklek.

Pintu dibukanya dengan perlahan. Atensi manusia-manusia yang ada di dalam ruangan itu langsung teralihkan padanya. Rava memberanikan diri menatap mereka, mengedarkan pandangannya sebelum masuk ke dalam ruangan tersebut. Di sana ada Rome tentunya — menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, Vigo, Raka, Dean, Alvin, dan ... Carla. Carla melemparkan senyumannya kepada Rava. Rava hanya balas tersenyum tipis, lantas segera masuk ke dalam ruangan itu. Seketika tatapannya jatuh ke seorang lelaki lagi yang berdiri di sebelah Carla yang awalnya tidak ia sadari. Lelaki itu nampak asing. Siapa dia?

"Akhirnya dateng juga lo, Rav," celetuk Raka, memecah keheningan. Rava berjalan mendekati mereka yang sedang berdiri mengelilingi ranjang tempat Rome berbaring dengan nyaman, lantas tersenyum tipis. Enggan membalas kata-kata Raka.

Hening selama beberapa saat. Rava yang tadinya tertunduk kini memberanikan diri menengadahkan wajahnya, menatap Rome. Lelaki itu masih terus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, membuatnya sedikit berdebar.

"Ehm, sorry ya, Ro, gue baru bisa ke sini. Gimana kondisi lo?" tak tahan dengan keheningan yang terjadi, akhirnya Rava memutuskan untuk memulai percakapan.

"Lo ke mana aja sih?" bukannya menjawab pertanyaan Rava, Rome malah balik bertanya dengan nada dingin. Kedua matanya menatap Rava tajam, membuat Rava sedikit bergidik. Apakah Rome sedang marah padanya?

"Kan gue udah bilang, Ro. Gue sibuk, banyak acara. Sorry," jawab Rava, memberanikan diri menatap balik ke arah Rome.

"Sampe gak punya waktu ya untuk jengukin gue di sini lima menit aja?" balas Rome.

Rava membelalakkan kedua matanya. "Nggak gitu—"

"Terus kenapa?" potong Rome. Rava terdiam selama beberapa saat. Sepertinya Rome benar-benar marah padanya. Terlihat dari wajah dan nada suaranya.

Tanpa disadari, Raka mengisyaratkan sesuatu kepada teman-temannya, lantas berkata, "Guys, makan yok! Laper nih gue."

"Yok, gue juga. Makan di kafe sebelah aja, Ka," usul Alvin.

Raka mengangguk, "Iya, Vin. Ro, Rav, La, Cel, kita makan dulu ye," pamit Raka tanpa menunggu persetujuan mereka seraya berjalan menuju pintu ruang rawat inap Rome, diikuti oleh Vigo, Dean, dan Alvin.

"Ya udah, kalo gitu gue sama Cello pamit juga ya, Ro? Rav? Mau nyari kado buat nyokapnya Cello, hari ini beliau ulang tahun soalnya. Rav, jagain Rome ya?" ucap Carla, tak lama setelah Raka, Vigo, Dean, dan Alvin pergi dari ruangan tersebut.

Rome hanya mengangguk sembari melambaikan tangannya kepada Carla dan lelaki yang asing tadi bagi Rava — Cello namanya. Sebelum keluar ruangan, Rava sempat menangkap senyuman penuh arti Carla, namun Rava sama sekali tidak mengerti apa arti senyuman tersebut.

Hening kembali menyapa. Entah mengapa keadaan menjadi semakin canggung karena kini hanya tinggal mereka berdua — Rome dan Rava. Rome melirik Rava sekilas. Gadis itu menunduk, tidak mau menatapnya. Rome akhirnya memutuskan untuk bangkit, duduk bersandar di ranjangnya. Rava yang menyadarinya refleks membantu lelaki itu untuk duduk.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang