"Selama ini Tante ke mana aja?" Rava melangkah lebih dekat ke wanita itu. Suaranya bergetar campur ketus tersulut emosi dan kedua tangannya terkepal kuat. Martha yang berada di dekatnya berusaha menahan anak gadisnya agar tidak semakin emosi. Sementara Imelda, ibunda Rome, nampak membeku sesaat mendapati perlakuan seperti itu. "Giliran anak Tante udah sekarat di sini, hampir mati, Tante baru dateng? Baru sadar? Iya?" suara Rava sedikit meninggi, menunjuk-nunjuk Rome dengan emosi. Air mata sudah bergumul di pelupuk matanya.
"Rava..." Martha menahan kedua bahu Rava, membuat penghalang antara Rava dan Imelda. Wanita itu berdiri di hadapan Rava, menegurnya dengan tatapan mata.
"Tapi, Ma—"
"Kita denger dulu penjelasan ibunya Rome, oke?" bisik Martha, agar tidak menyinggung Imelda. Rava menggeram pelan, lantas mundur beberapa langkah ke belakang, menyerahkan semuanya kepada ibunya. Sementara itu, Dean hanya diam sejak tadi, tidak ingin ikut tersulut emosi bersama ketiga wanita di hadapannya kini.
Martha beralih ke Imelda, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bu, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan di sini. Mari, duduk dulu."
***
"Maaf Bu jika saya lancang, tapi saya rasa saya harus menanyakan hal ini kepada Ibu. Selama Rome sakit, Ibu ke mana aja? Kenapa Ibu nggak mencari tau keberadaan dan kondisi anak Ibu sendiri?"
Rava melirik Imelda, ibunda Rome, yang terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Martha. Kini mereka sedang duduk melingkari sebuah meja kecil yang ada di ruang rawat inap Rome. Martha dan Imelda duduk bersebelahan di atas sofa, sementara Dean dan Rava duduk di hadapan mereka — melingkari meja, di atas kursi yang juga ada di sana.
Imelda kembali menghapus air mata yang masih saja menjatuhi kedua pipinya dengan selembar tisu sebelum menjawab pertanyaan Martha. "Saya rasa Anda tidak akan mengerti jika saya jelaskan, Bu."
"Bu, saya juga seorang ibu. Saya juga memiliki anak. Saya mengerti betul bagaimana perasaan Ibu melihat anak Ibu sendiri sakit, terbaring koma di sini. Dan pertanyaan saya, kenapa? Kenapa Ibu baru datang sekarang?" balas Martha. Terlihat ia sedikit emosi, terbukti dari wajah dan nada suaranya. "Ibu ke mana aja?"
"Saya kabur dari rumah, udah agak lama. Saya gak kuat tinggal di rumah saya sendiri. Saya tau saya salah, gak seharusnya saya ninggalin anak saya satu-satunya sendirian di sana. Dari awal saya sudah salah, Bu. Sejak Grenza lahir, saya sudah salah," Imelda berhenti sejenak. Tampak penyesalan yang amat sangat terpatri di wajahnya.
"Saya gak pernah menganggap Grenza ada. Saya gak pernah memperlakukan Grenza sebagai anak saya sendiri. Grenza selalu sendiri sejak kecil, terlebih ketika ibu saya — neneknya, meninggal dunia. Ya mungkin saya nggak pernah absen mengirimkan uang ke rekeningnya sehingga dia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa harus minta ke saya, tapi saya tau itu sama sekali gak akan pernah cukup untuk dia.
"Saya tau saya salah. Gak seharusnya seorang ibu memperlakukan anaknya seperti itu. Saya bahkan gak pantes disebut sebagai ibu. Tapi saya punya alasan tersendiri kenapa saya menjadi seperti itu. Itu semua karena ayahnya. Sejak awal kami sama sekali nggak saling cinta. Kami dijodohkan oleh orangtua. Dan ketika Grenza lahir, suami saya semakin menjadi kelakuannya.
"Kalo boleh saya jujur, dia sering menyiksa saya. Dia suka mabuk-mabukkan dan main perempuan. Saya gak terima, dan akhirnya saya juga bermain dengan lelaki lain. Saya tau saya bodoh karena saya hanya memikirkan diri sendiri, sementara anak saya? Saya telantarkan begitu aja. Namun saya masih memiliki naluri seorang ibu, Bu. Saya gak bisa ngeliat Grenza ikut disiksa sama ayahnya, tapi saya gak bisa berbuat apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...