17

3.7K 349 2
                                    

Rome mengernyit ketika merasakan nyeri di pergelangan tangan kirinya. Ia membuka kedua matanya perlahan, dan mendapati Rava yang sedang membalut pergelangan tangannya dengan hati-hati. Rome hanya diam, terus menatap gadis mungil itu yang terlalu fokus dengan balutan perbannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi Rome sudah membuka kedua matanya.

"Nah, selesai—eh?" Rava gelagapan ketika mendapati Rome yang sedang menatapnya dengan tatapan datar. "Ro, i-ini, gue gak bermaksud lancang, gue cuma—"

"Kok lo kayaknya ketakutan banget gitu sih?" potong Rome cepat. Rava menatap Rome tidak mengerti. "Santai aja, gua gak ngelarang lo ngobatin luka-luka gua. Gua malah berterima kasih sama lo. Makasih ya."

Rava mengerjapkan kedua matanya beberapa kali melihat senyuman Rome. Ia kira Rome akan marah padanya karena mengobati lukanya tanpa izin. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, syukurlah.

Rome mengangkat tangan kirinya yang sudah diperban tepat di hadapan wajahnya yang masih bersender di sandaran sofa. Ia menyeringai, "Haha, lebih rapi dari hasil balutan gua."

Rava hanya diam, segera merapikan kotak P3K-nya. "Mending lo pulang sekarang, nanti orang tua lo nyariin." Deg. Rava langsung bungkam menyadari ia telah salah bicara. Ia melirik Rome, ingin tahu reaksinya. "Hm ... sorry, Ro. Bukan gitu ... maksud gue."

Rome tersenyum lemah, lantas mengalihkan wajahnya. "Gapapa, gua gak marah. Lagian ... orang tua gua gak bakal nyariin juga."

"Hmmm," gumam Rava. Entah mengapa keadaan jadi canggung seperti ini. "Mending sekarang lo pulang. Biar Nabilla nanti gue gendong ke kamar. Udah malem, Ro, lo juga harus istirahat. Makasih ya, udah jagain dan nemenin adek gue main."

Rome mengangguk, kemudian berkata, "Iya, sama-sama. Gapapa kok, begini aja dulu. Takutnya Nabilla belom pules tidurnya, nanti kalo digendong tiba-tiba malah kebangun terus nangis gimana? Oh iya, lo gak ada niatan untuk obatin tangan kanan gua juga?" Rome menyodorkan tangan kanannya, lantas menggulung lengan bajunya. "Karena lo udah obatin tangan kiri gua, jadi sekarang lo juga harus obatin tangan kanan gua. Tanggung kalo cuma sebelah."

Rava mendelik, kemudian kembali menyiapkan peralatan P3K-nya dan langsung mengobati luka-luka di tangan kanan Rome. "Gue harap setelah ini lo berhenti cutting untuk seterusnya, Ro. Ini lukanya udah agak lama kan? Itu berarti, akhir-akhir ini lo nggak cutting."

Rome tersenyum, "Gua lagi bahagia akhir-akhir ini karena sesuatu, makanya gua gak cutting. Orang tua gua juga selalu pulang larut dari kemaren, jadi waktu berperang mereka otomatis berkurang. Keadaan rumah gua jadi sedikit lebih damai."

Entah mengapa, Rava ikut tersenyum mendengar penjelasan Rome. Ternyata itu alasannya menjadi lebih fresh akhir-akhir ini. Walaupun ia belum tahu dengan detail, sebenarnya sesuatu apa yang membuat Rome sebahagia ini sampai-sampai menghentikan kebiasaan self-harming-nya (mungkin untuk sementara, namun jika terus-menerus seperti ini akan bagus sekali bagi Rome). Pasti itu sesuatu yang sangat spesial dan berarti bagi lelaki itu.

"Bagus deh kalo gitu. Semoga seterusnya lo begini, Ro."

"Aamiin...." Rome mengaminkan. "Oh iya, Va. Hm ... gua mau...." kata-kata Rome terhenti sesaat. Ia sedikit menegakkan tubuhnya dengan hati-hati, mengingat masih ada Nabilla di pangkuannya.

Rava yang telah selesai mengobati luka di tangan kanan Rome menatap lelaki itu yang sepertinya ragu tentang sesuatu yang akan dikatakannya. Bahkan Rome pun mengalihkan wajahnya. Hal itu membuat Rava berdegup, entah mengapa. "Mau ... apa?"

Rome memberanikan diri menatap Rava dengan senyum malu-malunya. "Kalo misalnya ... kalo misalnya gua ngajak lo...."

Tanpa sadar, Rava mencengkeram ujung bajunya. Ia geregetan menunggu kelanjutan kalimat Rome. Sunyi yang penuh dengan kecanggungan membungkus atmosfer di sekitar keduanya. Keadaan ini menjadi mendebarkan bagi Rava, dan ia tidak terlalu suka. "Ngajak apa?"

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang