46

3.1K 306 12
                                    

Rava bergegas mendekati ranjang tempat di mana Rome terbaring lemah di atasnya. Kedua matanya berkaca-kaca, menatap wajah itu. Kedua mata itu tidak lagi tertutup rapat. Kedua mata itu memandangnya sayu.

"Ro ... Rome ... ini gue, Rava. Lo bisa denger suara gue kan? Lo bisa ngeliat gue kan? Lo baru bangun? Apa udah dari tadi? Gimana kondisi lo?" Rava memberondong Rome dengan pertanyaan beruntun. Suaranya bergetar menahan tangis dan perasaan bahagia yang membuncah hebat di dalam hatinya. Gadis itu menggenggam pelan tangan kiri Rome yang bebas dari selang infus dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mengelus lembut rambut Rome yang hitam legam.

Rome mengernyit mendengar pertanyaan beruntun yang dilontarkan Rava. Sadar akan perbuatannya, Rava segera menggeleng panik. "Eh, lo gak usah jawab pertanyaan gue kalo gak kuat, gapapa. Gue panggil dokter dulu ya? Oke?"

***

Rava berdiri di depan ruang rawat inap Rome, bersender di dindingnya. Ia memilin jari-jemarinya sembari merapalkan doa-doa dalam hati, berharap yang terbaik untuk Rome yang sedang diperiksa kondisinya di dalam sana. Tak lama kemudian, terdengar derap langkah kaki yang terburu-buru menghampirinya. Rava menoleh. Itu Imelda. Saat Rome sadar, Rava memang segera menghubungi Imelda.

Imelda datang tergopoh-gopoh dengan plastik berukuran cukup besar — entah apa isinya. "Gimana Grenza?" tanya Imelda. Wajahnya pias, napasnya terengah-engah. Sepertinya wanita ini berlari-lari dari lantai satu.

"Masih diperiksa, Tante," jawab Rava lirih. Imelda menghembuskan napas pelan, lantas berjongkok di sebelah Rava. Plastik putih yang dipegangnya tadi ia letakkan begitu saja di sebelahnya. Wanita itu memejamkan kedua matanya, lantas menyatukan kedua tangannya, berdoa.

Beberapa menit kemudian....

Cklek!

Pintu ruang rawat inap Rome terbuka, menampilkan sosok sang dokter. Imelda buru-buru bangkit dari posisi jongkoknya dan menghampiri dokter tersebut, yang didampingi oleh dua orang perawat wanita.

"Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?" tanya Imelda, langsung ke intinya.

Dokter tersebut — Dr. Bima namanya, tersenyum hangat. "Kondisinya stabil dan saya prediksi akan semakin membaik. Tabung oksigennya pun sudah boleh dilepas. Sekarang Ibu boleh melihat keadaan Ananda Romeo, namun setelahnya Ibu silakan datang ke ruangan saya, ada beberapa hal penting yang ingin saya bicarakan."

Imelda mengiyakan perkataan Dr. Bima. Setelahnya, Dr. Bima dan kedua perawat tersebut meninggalkan Imelda dan Rava berdua di depan ruang rawat inap Rome.

Rava terdiam, melirik Imelda yang memandang cemas ke pintu ruang rawat inap Rome yang tertutup rapat tanpa ada niatan membukanya duluan. Rava tahu apa yang ada di pikiran wanita itu. Imelda menggenggam kantung plastik putih di tangan kanannya dengan erat.

"Gapapa, Tante," ujar Rava lembut. Imelda memandangnya tidak yakin. "Rome nungguin Tante di dalem. Tante gak usah khawatir dan gak usah mikirin gimana respon Rome nanti. Tante masuk duluan aja, aku di belakang Tante kok. Oke?"

Imelda menelan liurnya dengan gugup. Ia memegang pegangan pintu ruang rawat inap Rome dengan ragu, kemudian membukanya perlahan. Entah mengapa ini membuat Rava sedikit berdebar. Pasti Imelda berkali-kali lipat lebih berdebar daripada dirinya.

***

Rome memandang jauh ke jendela ruang rawat inapnya yang terbuka, menampilkan pemandangan kota Jakarta di malamhari. Salah satu dari dua perawat wanita tadi yang mendampingi Dr. Bima yang membukanya. Ia bertanya-tanya, sudah berapa lama ia tertidur? Dan pertanyaan yang paling mengganggunya sekarang adalah mengapa ia masih hidup?

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang