Rome berjalan menuju kelasnya dengan langkah lunglai. Padahal ia sudah tidur seharian sejak jam istirahat sampai sekarang—jam pelajaran terakhir, namun ia masih saja merasa sakit kepala dan lemas. Hanya saja keadaannya sekarang sudah lebih baik daripada pagi tadi.
"Bro! Ngapa lu?"
Rome yang tadinya hampir memasuki kelasnya sembari mengucek-ucek mata refleks menghentikan langkahnya, menatap Raka dan Vigo yang menghadangnya di depan pintu masuk. Tas sudah tersampir di pundak keduanya, bersiap pulang.
"Gak enak badan gua," jawab Rome seadanya. "Aelah, awas apa, Nyet. Gua mau ngambil tas." Rome mendorong tubuh Vigo dan Raka agar menyingkir, lantas berjalan masuk ke dalam kelas dan merapikan barang-barangnya yang masih berantakan, lalu memasukkannya ke dalam tas dan kembali menghampiri Raka dan Vigo. "By the way, ada tugas apaan aja hari ini?"
"Buset, masih aja mikirin tugas. Istirahat, Goblok," balas Vigo sembari berdecak tak percaya dan menggelengkan kepalanya sok iya.
"Ya itu mah lo, alergi tugas, hahaha," cetus Rome, diakhiri dengan tawa lemah. "Nanti gua tanya di grup kelas ajalah."
"Lo kok bisa sakit, Ro? Kenapa?" tanya Raka tiba-tiba.
Rome tersenyum tipis. Sebenarnya ia sudah merasa tidak enak badan sejak hari Sabtu, saat ia pulang dari minimarket dan hujan-hujanan. Namun, ia tidak memedulikannya. "Karena gua juga manusia, jadi bisa sakit."
"Yeee ... kambeng!" maki Raka. Sejenak, ia dan Vigo berpandangan. "Di rumah lo ada makanan sama obat kan, Ro?"
Rome terdiam mendengar pertanyaan Raka, mengingat-ingat. Makanan sih selalu ada, namun permasalahannya ada pada obatnya. Satu-satunya obat yang ia punya di rumah adalah obat antidepresannya, dan tentu itu bukanlah sejenis obat flu mau pun penurun panas demam yang kini ia butuhkan. Ia mengacak rambutnya, kemudian menjawab, "Hm ... ada, kok."
"Gak percaya ni gua, boong lu ya?" selidik Vigo.
Rome menggeleng, tetap tersenyum. "Pulang bego lu berdua, dicariin emak. Oh iya, kalian ngeliat Rava gak?" tanya Rome, mengalihkan pembicaraan. Dan sepertinya dua makhluk di hadapannya ini teralih perhatiannya.
Raka tersenyum menggoda. "Cie ... lo lagi mepet dia ya? Petrus, Kawan, pepet terus, jangan sampe lepas, hahaha."
Rome mengernyitkan keningnya, menahan tawa. "Eh, mepet apanya, Hantu? Orang gua mau bilang makasih sama dia karena udah maksa gua istirahat di UKS, sekalian mau ambil jaket gua yang dia pinjem."
"Nah kan, nah kan! Udah mulai pinjem-pinjeman barang nih ye ... hahaha. Udah gitu dia yang pertama kali tau kalo lo sakit, nganterin lo ke UKS, sampe ditungguin segala lagi," lanjut Vigo. "Alhamdulillah, Rome akhirnya kenal sama cewek."
Rome membelalakkan kedua matanya. Ia tahu bahwa Rava memang orang pertama yang sadar bahwa ia sakit dan mengantarnya ke UKS, namun ia baru tahu bahwa Rava juga sempat menungguinya. Ia kira setelah ia tidur, Rava akan segera meninggalkannya.
"B aja, Anjeng. Kayak gak pernah minjem barang aja lu," balas Rome, berusaha menutupi rasa terkejutnya. "Udah ah, gua mau pulang. Minggir!" Rome mendorong tubuh dua sahabatnya itu, lantas berjalan cepat menjauhi mereka.
"MINUM OBAT, RO!" seru Raka dari kejauhan. "MINUM PANADOL, JANGAN INZANA! LO UDAH BANGKOTAN, GAK BAKAL MEMPAN KALO PAKE INZANA!"
Rome tertawa lepas, lantas menjawab, "MAUNYA PAKE BYE-BYE FEVER AJA!"
"YEEE ... BATU! BAYI TUA!"
"HAHAHAHA, ANJENG."
Mereka bertiga tertawa lepas, tidak sadar bahwa ada seseorang yang diam-diam mendengarkan percakapan itu sembari menggenggam sebuah jaket varsity hitam dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...