Hari H pun tiba. Rava menatap pantulan dirinya di depan cermin. Nampak seorang gadis dengan rambut dicepol dan mengenakan gaun tanpa lengan berwarna peach berdiri di sana. Cantik, namun tanpa senyuman. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Rava sejak kemarin, khususnya sejak Carla mengajaknya berbicara. Ia sama sekali tidak bisa tidur semalaman akibat memikirkan perkataan Carla yang amat membingungkannya, yang sama sekali tak disangkanya.
"Neng, udah siap?" Rava sedikit terkejut ketika tiba-tiba Hadi—ayahnya, muncul di bawah pintu kamarnya. Hadi tersenyum menatap penampilan Rava. "Anak Papa cantik banget sih? Jadi inget masa muda Papa sama mama," celetuk Hadi.
Rava memaksakan diri untuk tersenyum. Kemudian, ia mengangguk dan berkata, "Ayo, Pa. Rava udah siap kok."
***
"Kenapa, La? Kenapa lo mau ngelepasin Rome gitu aja? Lo sayang kan sama dia?" Rava membelalak tak percaya.
Carla tetap berwajah sedih. Gadis cantik itu menunduk, menggeleng pelan. "Gue gak bisa pertahanin dia, Rav. Gue gak bisa terus sahabatan sama dia ataupun jadi pacarnya. Kedua pilihan itu bakal sia-sia," jawab Carla lirih.
Rava meringis, menyisir rambut panjangnya ke belakang hingga memperlihatkan dahinya. Bahkan untuk saat ini, ia sama sekali tidak ingin menatap Carla. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis itu. "La," ujar Rava pelan. "Rome sayang sama lo."
"Iya, gue tau," balas Carla. Gadis itu benar-benar terlihat putus asa. "Tapi tetep aja, Rav. Gue gak bisa. Kalopun dipaksa, nggak bakal berjalan seperti semestinya."
"Alesan lo apa?" Rava sadar, nada suaranya mulai menajam. Namun ia tidak peduli. Entah mengapa ia sangat tidak terima dengan keputusan gilanya Carla. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Rome nanti. "Jawab gue, Carla. Alesan lo apa?" tak sabar dengan Carla yang hanya diam, Rava akhirnya kembali melontarkan pertanyaannya, dengan tambahan 'sedikit' penekanan.
Carla memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian menatap Rava dalam sembari bertanya, "Lo tau apa alesan sebenernya gue pindah lagi ke Jakarta?" Rava menatap Carla tidak dimengerti. "Emang, ini semua salah gue sejak awal. Sejak awal, gue bilang ke Rome kalo bokap gue udah dipindahin lagi tugasnya ke ibukota, iya itu emang bener. Tapi ... nggak cuma 'itu' alesannya."
"Maksud lo apa sih? Gue gak ngerti," ucap Rava cepat. Ingin rasanya ia mengakhiri ini semua.
"Perusahaan bokap gue lagi down banget, Rav. Tinggal selangkah lagi, perusahaan beliau bakal hancur, begitupun sama keluarga gue. Bokap gue punya banyak utang, Rav. Dan untuk nyelamatin perusahaan sekaligus keluarga, satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah dengan menjodohkan gue dengan anak laki-laki dari sahabat bokap gue yang punya perusahaan besar di Indonesia. Gue balik lagi ke Jakarta sebenernya untuk mengakrabkan diri sama cowok itu yang bakal dijodohin sama gue. Dan pertemuan pertama kita sehari setelah Prom Night Party diselenggarain."
Rava terkelu mendengar penjelasan Carla. Ia menatap Carla tak percaya. Bahkan ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Carla mengalihkan pandangannya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.
"Gue harus ngelepas Rome karena itu, Rava. Iya gue tau Rome pasti bakal sakit banget kalo tau hal ini, tapi gue gak punya pilihan lain. Ini juga bukan kemauan gue. Ini demi keluarga gue..." Carla melanjutkan penjelasannya. Gadis itu menutup seluruh wajahnya dengan kedua belah tangan. Ia benar-benar menangis sekarang. "Gue gak tau harus gimana lagi, Rav...."
"Gue gak tau kalo permasalahannya serumit ini, La," Rava angkat suara setelah beberapa saat terdiam. Ia duduk kembali di sebelah Carla, mengusap lembut bahunya. Ia benar-benar tidak tahu harus merespon seperti apa. Pantas saja Carla terlihat sangat murung dan menyedihkan.
Carla menggeleng, menatap Rava dengan kedua matanya yang berair dan memerah. "Gue gak mau liat Rome 'sakit', Rav. Gue gak mau liat dia terluka."
Rava terdiam. Ia juga sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi.
"Karenanya, gue mau minta tolong sama lo. Gue ... gue mohon banget, Rav," lanjut Carla.
Rava menatap Carla tidak mengerti. "Minta tolong apa?"
"Gue tau, cepat atau lambat, gue pasti bakal bikin Rome sakit. Gue bukan lagi 'penyembuh' bagi dia. Gue mau ... hiks, saat gue nyakitin dia nanti, lo harus ada di samping dia, jangan pernah ngebiarin dia terluka.
"Gue mau lo gantiin posisi gue sebagai 'penyembuh' untuk dia. Lo harus jagain dia demi gue, oke? Dan jangan bilang tentang hal ini ke Rome, karena gue yang nanti bakal bilang sendiri ke dia," Carla mengusap air matanya, lantas menggenggam kedua tangan Rava dengan erat. Rava terkelu, tidak dapat berkata apa-apa. "Gue mohon banget sama lo, Rav. Lo mau kan ngelakuin itu? Lo bisa kan janji sama gue untuk jadi obat barunya Rome? Gue yakin banget lo bisa diandalkan, Rav. Gue percaya sama lo."
"Ng-nggak, La! Apaan sih lo? Gak usah ngomong aneh-aneh deh! Gak, gue gak bisa. Rome cuma sayang sama lo, dia lebih butuh lo daripada gue," bantah Rava dengan tegas yang sudah mendapatkan kembali suaranya sembari melepaskan genggaman tangan Carla.
Carla menggeleng, kembali meraih kedua tangan Rava. "Rav, ini permintaan terakhir gue, oke? Setelah ini, gue janji nggak bakal ganggu kalian, gue nggak bakal ganggu lo lagi. Untuk yang terakhir kali, untuk gue. Rav, please...."
Rava terdiam, tidak ingin membalas kata-kata Carla. Ia tidak akan mau menuruti perkataan gadis itu.
"Sekarang gini deh. Emangnya lo mau ngeliat Rome sakit nanti setelah dia tau yang sebenernya, hah? Nggak kan? Dan saat itu tiba, gue udah gak bisa jadi penyembuhnya lagi, gak bisa jagain dia lagi, karena orangtua gue sendiri minta gue untuk ngelepas Rome. Rav, ini untuk Rome, bukan untuk gue. Gue mohon, Rav. Ini permintaan terakhir gue..." Carla belum menyerah juga. Ia benar-benar memohon dengan sangat kepada Rava.
Rava menatap Carla iba. Entah mengapa, ia merasa ada yang aneh dengan Carla. Firasatnya memburuk seketika. Apa ia harus menuruti permintaan Carla?
"Demi Rome, Rav..." ucap Carla lirih, entah sudah yang keberapa kali.
Rava meringis sesaat, hingga akhirnya berkata, "Ya udah deh, terserah lo aja! Demi Rome kan?"
Dan saat itu juga, senyuman penuh terima kasih mengembang di wajah Carla yang penuh dengan air mata.
***
Rava tersentak dari lamunannya tentang percakapannya dengan Carla kemarin di sekolah ketika ayahnya memanggil namanya. "Kamu bengong? Mikirin apa sih? Udah sampe nih kita," Hadi memandang Rava dengan cemas.
Rava tersenyum tipis, lalu menggeleng. Ia menatap beberapa kerumunan yang tampak di depan pintu masuk hotel. Itu teman-temannya. "Gapapa, Pa. Pa, Rava duluan ya?"
Hadi mengangguk setelah Rava menyalami tangannya. Gadis itu segera keluar dari mobil, berusaha menemukan teman-teman sekelasnya. Perlahan, ia mulai mendekati kerumunan itu. Siapa tahu ia bisa menemukan teman-teman sekelasnya diantara mereka.
"Rava?"
Rava segera menoleh ketika seseorang menepuk pundaknya. Ternyata Vigo dan Sherlyn. Rava sedikit pangling dengan penampilan mereka berdua yang amat sangat serasi. Vigo terlihat lebih tampan beribu-ribu kali dengan balutan tuxedo biru gelapnya, begitu juga Sherlyn dengan gaun hitamnya. Gadis itu nampak cantik dan manis sekali.
"Cie ... Rava cantik banget! Ya kan, Go?" Sherlyn yang menggandeng lengan Vigo menggoyang-goyangkannya, meminta persetujuan Vigo.
Vigo berdeham sebentar, melirik Rava. Sementara Rava yang dijadikan pusat perhatian kedua sejoli itu nampak salah tingkah. "Eh, ng-nggak kok, apaan sih? Hahaha. Sherlyn lebih cantik kan, Go?" Rava membalik kata-kata Sherlyn, meminta persetujuan Vigo.
Vigo dan Sherlyn lirik-lirikan sekilas, kemudian Vigo langsung mengalihkan perhatiannya dengan telinga memerah karena malu. Bahkan lelaki itu terlihat menahan senyumannya. "Hm," gumamnya.
Aish, menggemaskan.
Rava tertawa renyah, gemas melihat kedua sejoli itu kini sedang menahan senyuman mereka masing-masing.
"Ah, ya udah, ayo masuk sekarang aja! Kayaknya yang lain udah pada di ballroom," ajak Sherlyn. Rava mengangguk, mengikuti langkah Vigo dan Sherlyn menuju ballroom Golden Hotel.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...