7

5K 472 13
                                    

Malam Minggu.

Awan tebal menggelayuti kota Jakarta, pertanda tak lama lagi hujan deras akan turun. Rome menenggak beberapa pil miliknya sekaligus—obat antidepresan yang diberikan oleh psikiaternya—kemudian meminum air putih dari gelas kacanya hingga tandas. Ia menghela napas beberapa kali, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, tidak lama lagi pasti efek samping dari obat antidepresan itu akan menyerangnya, namun ia tidak peduli. Setelah itu, ia bangkit dan mengenakan jaket varsity hitamnya, lalu meraih dompetnya dan berjalan keluar kamar.

Di luar ....

"Grenza, mau ke mana kamu?"

Rome menghentikan langkahnya, menatap Farhan—ayahnya—yang sedang meminum segelas bir di ruang tengah sembari menonton film dengan seorang wanita—entah siapa—yang tertidur pulas di pangkuannya. Lagi-lagi wanita yang berbeda. Untuk informasi, di rumah, Rome memang dipanggil dengan sebutan 'Grenza', berasal dari nama lengkapnya; Romeo Grenza Reynanda.

"Ke minimarket," jawab Rome singkat.

"Tunggu, tunggu." Farhan menahan langkah Rome yang hampir melangkah kembali. Pria itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan meremasnya, lalu melemparkannya tepat ke hadapan Rome. "Sekalian beliin saya rokok, yang biasa."

Rome menggeram tertahan, menatap uang seratus ribuan yang sudah lecek itu tergeletak tak berdaya tepat di depan ujung kakinya. Rome menahan emosinya, lantas meraih uang itu dan berjalan keluar.

***

Rome menyerahkan beberapa lembar uang sesuai dengan nominal yang ditunjukkan oleh mesin kasir. Pegawai minimarket yang bertugas di meja kasir itu tersenyum ramah padanya sembari menyerahkan belanjaannya, lantas mengucapkan terima kasih. Rome hanya mengangguk sopan, lalu keluar dari minimarket itu.

Sesampainya di luar, langkahnya terhenti karena hujan deras yang memang sudah turun sejak lima menit yang lalu. Ia mendesah, lantas berlarian menuju halte bus yang tak jauh dari sana untuk berteduh. Rumahnya sebenarnya tak begitu jauh dari minimarket, namun tetap saja, jika ia memaksakan dirinya, tubuhnya akan basah kuyup walaupun ia mengenakan jaket. Lebih baik menunggu sampai hujannya reda.

Bruk!

"Aduh!" Rome refleks mengaduh ketika seseorang berlari ke halte untuk berteduh juga di sebelahnya, namun tak sengaja menabraknya.

"Ah, maaf—eh, Rome?"

Rome sedikit membelalakkan kedua mata ketika tahu siapakah orang yang tak sengaja menabrak tubuhnya. "Rava? Lo ngapain di sini?"

"Gue abis dari apotek, terus neduh di sini karena hujannya deres banget. Lo ... abis dari minimarket, ya?" jawab Rava seraya bertanya, menatap plastik belanjaan di tangan Rome.

Rome mengangguk. Rava hanya ber-oh panjang. Rome menatap rambut gadis itu yang sedikit basah akibat tampias hujan. Ia juga tidak menggunakan jaket. Wajahnya juga basah diterpa rintik hujan yang semakin deras. "Emangnya lo ngapain ke apotek? Siapa yang sakit?"

"Hmm? Eh, itu ... adek gue demam tinggi, gue disuruh beli obat, tapi ... gue gak bisa langsung pulang kalo gini caranya." Raut wajah Rava terlihat khawatir.

"Oh ... adek lo umurnya berapa?" tanya Rome lagi.

"Lima tahun," jawab Rava.

"Rumah lo jauh dari sini?"

"Gak jauh-jauh banget sih, cuma naik angkot sekali di depan sana yang deket lampu merah. Hm ... btw, Ro, gue duluan, ya? Kayaknya hujannya gak bakal reda dalam waktu cepat. Adek gue harus cepet-cepet minum obat soalnya, dah—"

"Tunggu!" Rome menahan pergelangan tangan Rava yang ingin berlari dari sana. Rava terkejut karena Rome yang menyentuhnya tiba-tiba. Sadar dengan apa yang dilakukannya, Rome segera melepas genggamannya. "Sorry. Lo bisa basah kuyup kalo hujan-hujanan, nanti masuk angin. Adek lo udah sakit, kasian elo kalo lo sakit juga. Hm ...." Rome tak melanjutkan kalimatnya.

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang