"Kenapa kamu ngelakuin itu?"
"...."
"Jawab aku. Kenapa?"
"...."
"Selama ini aku percaya sama kamu, Ndhi. Tapi nyatanya ... kamu nyimpen sesuatu yang begitu besar sendirian."
"...."
"Kamu tau apa yang aku rasain sekarang? Aku ngerasa gagal, Ndhi. Ngerasa gak berguna. Kenapa sih, Ndhi? Kenapa sih harus dengan ngelukain diri kamu sendiri kayak gini? Aku dianggap apa selama ini sama kamu sehingga kamu gak pernah kasih tau aku soal ini?"
"Kamu tau gak kenapa kupu-kupu itu umurnya pendek?"
Sang gadis terdiam, terbelalak tak percaya menatap lawan bicaranya yang masih bertahan dengan wajah datarnya. "Jangan coba-coba alihin pembicaraan, Sandhi—"
"Karena kupu-kupu itu indah."
Sang gadis kembali menitikkan air matanya, menangis keras. Sebelum pergi meninggalkannya, sang lelaki berkata, "Rav, aku itu kupu-kupu. Bedanya, aku kupu-kupu yang jelek. Mulai sekarang, aku mau bebas. Dan kamu juga akan bebas setelah ini. Makasih ya, Rav, karena udah mau jadi satu-satunya temen aku yang paling pengertian dan selalu mau nemenin aku di sini. Kamu itu penting dan berguna banget buat aku, dan kamu gak gagal. Aku yang gagal."
Tanpa sang gadis—Rava—sadari, hari itu—hari di mana hujan rintik-rintik menyelimuti kota Bandung yang penuh dengan kenangan manis—adalah hari terakhir ia melihat sang lelaki, Sandhi, satu-satunya sahabat yang ia miliki, satu-satunya orang yang ia percaya lebih dari kepercayaannya kepada dirinya sendiri. Karena keesokkan harinya, ketika ia baru saja bangun tidur, sebuah kabar mengejutkan datang dari salah satu teman sekolahnya via telepon.
"Rav, Sandhi udah nggak ada ... dia bunuh diri tadi malam di kamar kontrakannya, Rav...."
Sandhi itu indah bagi Rava walaupun tubuh dan wajahnya penuh luka akibat bertengkar dengan siswa lain mau pun hasil dari tawuran yang sering ia ikuti. Namun, Sandhi tetap indah di mata Rava, seperti kupu-kupu yang pernah mereka lihat bersama di taman dekat sekolah.
Dan kini, kupu-kupunya sudah meninggalkannya untuk selamanya.
***
Rava terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Ia bangkit, duduk di ranjangnya. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat. 'Kenapa ... kenapa gue harus mimpiin Sandhi lagi?' Rava menelungkupkan wajah di antara kedua tangannya. 'Sadar, Rava. Sandhi udah gak ada,' batinnya.
Selama lima menit ke depan, yang dilakukan Rava hanyalah diam di tempatnya. Tiba-tiba, pandangan matanya tertuju ke jaket varsity hitam yang terlipat rapi di atas meja belajar. Itu milik Rome. Rava meringis, kemudian menggeleng pelan. 'Nggak, Rav. Rome beda sama Sandhi. Mereka jelas-jelas orang yang beda. Rome nggak bakal ngelakuin hal yang sama kayak yang Sandhi lakuin, yang nyebabin dia akhirnya pergi selama-lamanya dari sisi lo bahkan sebelom lo sempet ngutarain perasaan lo ke dia. Bahkan keduanya bukan siapa-siapa lo.'
Dan tak lama kemudian, sadar karena hari semakin terang, Rava akhirnya bangkit, bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ia memutuskan untuk tidak lagi memikirkan hal itu dan menguburnya jauh di lubuk hati dan benaknya.
***
Rava sedikit terlambat datang ke sekolah hari ini. Kelas sudah ramai ketika ia tiba. Hari ini adalah hari terakhirnya sebangku dengan Rome sebelum rolling tempat duduk kembali.
Rava meletakkan tasnya di atas meja, menatap Rome yang tertidur pulas di atas mejanya. Awalnya, Rava heran karena Rome selalu datang paling pagi, dan saat ia tiba di kelas, pasti Rome sedang tidur. Namun lama-kelamaan, pemandangan itu menjadi hal yang biasa baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...