Jika saja aku ditakdirkan untuk menjadi manusia yang lebih kuat dari yang sekarang, niscaya semua ini akan mudah saja kulalui. Jika saja Tuhan tidak menciptakan yang namanya 'luka' maupun 'sakit', percayalah, Kawan, hidup tidak akan pernah ada. Dan sungguh malang, karena kurasa hanya dua hal tersebut yang memenuhi kehidupanku yang suram. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada harapan.
Haruskah aku menyerah?
Rava menutup novel berjudul Harapan yang baru saja ia baca, entah milik siapa. Ia menemukannya di lemari belakang kelas, teronggok bisu bersama barang-barang lainnya. Konsentrasinya terpecah-belah dan kondisi mood paginya benar-benar buruk. Ia menatap sekeliling. Kelas sudah mulai ramai. Satu-persatu teman-temannya mulai berdatangan, berceloteh riang. Berbagi pengalaman maupun bercerita ulang tentang Prom Night yang baru diselenggarakan beberapa hari yang lalu.
Rava menunduk lesu ketika menyadari seseorang yang sedari tadi dinantinya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ya, ia menunggu Rome. Ke mana anak itu? Rava sudah berkali-kali mengiriminya pesan Line, namun tak kunjung dibalasnya. Rava bahkan nekat meneleponnya, namun hasilnya pun sama. Tidak ada jawaban.
"Kemaren gue udah coba nelpon, SMS, chat berkali-kali ke semua akun medsosnya, gak dijawab-jawab, Yan. Gue udah macem cewek yang gak dihubungin berhari-hari sama pacarnya, tau gak?"
"Gue bahkan kemaren iseng lewat depan rumahnya, tadinya pengen mampir, basa-basi. Tapi gerbang rumahnya aja kekunci gitu, gelap."
Rava mengalihkan atensinya dari sampul novel Harapan ke beberapa anak lelaki yang baru memasuki kelas: Vigo, Raka, Dean, dan Alvin. Tidak ada Rome di sana, tentu saja.
Raka terlihat mendesah pelan setelah menempatkan dirinya di atas salah satu bangku. "Ke mana sih tu bocah? Di-read aja nggak, anjir. Kalo di WhatsApp juga biasanya keliatan kan last seen-nya? Lah ini nggak. Dia terakhir kali buka WA Kamis sore."
Rava mengernyitkan keningnya. Bahkan Rome juga tidak menghiraukan sahabat-sahabatnya? Sebenarnya ke manakah lelaki itu menghilang?
"Walaupun kemaren-kemaren dia ngilang, tapi gue yakin banget kok, Rome pasti masuk hari ini. Dia gak bakalan berani ninggalin sekolah," ujar Alvin sembari duduk di atas meja, tepat di depan Vigo.
Dan tepat setelah Alvin berkata demikian, bel masuk berbunyi nyaring, sekaligus menampilkan sosok seorang lelaki berperawakan tinggi ideal yang memasuki kelas dengan tampilan yang kusut. Acak-acakkan. Rome.
Mendadak keempat lelaki itu terdiam. Rava tercekat. Kedua bola matanya awas menatap pergerakan Rome. Kemeja dan almamaternya kusut, juga tidak memakai dasi. Tidak ada senyuman di wajahnya yang sedikit pucat. Ada dua lingkaran gelap di bawah kantung matanya, persis orang yang kurang tidur. Sama seperti Rava, Vigo, Raka, Dean, dan Alvin pun awas menatap Rome.
Rome terus berjalan menuju mejanya yang berada paling belakang, dua meja di belakang Rava yang duduk di barisan kedua. Lelaki itu bahkan tidak melirik sama sekali ke arah sahabat-sahabatnya.
Jantung Rava entah mengapa berdetak lebih cepat dari biasanya melihat Rome semakin mendekat ke arahnya. Selama beberapa sekon mereka bersitatap, tanpa senyuman di wajah masing-masing. Rava meneguk liurnya, bersiap menyapa lelaki itu jika Rome melewatinya.
Namun yang terjadi adalah tenggorokannya malah semakin tercekat, menatap Rome yang membuang muka, melewatinya begitu saja tanpa menatapnya.
Ouch.
***
Rava tidak bohong apabila berkata bahwa seharian ini ia terus mengawasi gerak-gerik Rome. Benar-benar ada yang berbeda dengannya, bahkan tidak hanya Rava, Vigo, Raka, Dean, dan Alvin yang merasakannya, namun hampir setiap orang yang kenal dengan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...