5

5.6K 462 8
                                    

"Ro, itu tadi nyokap lo?"

"Laki-laki yang tadi siapa? Itu bukan bokap lo, Ro?"

"Kalo laki-laki tadi bukan bokap lo, terus bokap lo ke mana, Ro?"

Rome menatap sahabat-sahabatnya yang menatapnya dengan tampang penasaran, mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Rome tahu hal ini akan terjadi. Teman-temannya pasti bingung. Rome yang terduduk di ranjangnya hanya menghela napas pelan sembari memijit keningnya. Kepalanya terasa sakit. 'Apa gua ceritain aja semuanya ke mereka? Tapi ... ah, kepala gua sakit.'

"Ro, lo kenapa?" Ucapan Raka membuyarkan lamunannya. "Itu tadi serius nyokap lo? Terus ... bokap lo mana? Yang tadi bukan bokap lo?" Raka mengulang pertanyaannya dan sahabat-sahabatnya yang lain.

Rome mengatur napas beberapa kali. Di saat seperti ini, ia harus bersikap setenang mungkin, atau kalau tidak, teman-temannya akan ikut panik dan khawatir. "I-iya ... yang tadi nyokap gua. Dan cowok di depan, dia bukan bokap gua. Ini serius," jawab Rome. Ia meringis pelan, merasakan kepalanya yang semakin pening. Sebenarnya ia sangat ingin sendirian sekarang, namun ia tidak enak apabila harus meminta sahabat-sahabatnya untuk pulang. Ia takut lepas kendali dan membuat mereka kaget. Ia takut sekali teman-temannya mengetahui semua rahasianya.

"Terus, bokap lo ke mana? Apa udah ...." Alvin menghentikan kalimatnya begitu Vigo menyenggol lengannya. "Kan gua cuma nanya, Go...." Alvin membela dirinya dengan intonasi suara yang dipelankan. Vigo hanya memelototinya.

Rome tersenyum lemah melihat Alvin dan Vigo yang berdebat melalui tatapan mata. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Alvin. "Nggak, kok, bokap gua masih ada. Belom pulang, nanti tengah malem paling. Dia ... gak jauh beda sama nyokap," jawab Rome pelan, yang langsung disesalinya sedetik kemudian karena sudah berbicara demikian. Kini, ia merasakan tatapan keempat sahabatnya tertuju dengan wajah terkejut ke arahnya. 'Harusnya gua gak bilang....'

"Maksud lo? Jadi, bokap dan nyokap lo ...." Vigo kembali menyenggol lengan Alvin sebelum lelaki itu melanjutkan kata-katanya. Alvin kali ini terdiam, menuruti Vigo. "Sorry, Ro."

Rome hanya mengangguk. Ia menjadi tidak enak mendapati reaksi canggung keempat sahabatnya yang kini hanya diam. 'Apa ... sebaiknya gua ceritain semuanya aja ke mereka? Tapi ... apa mereka bakal tetep nerima gua sebagai temen seandainya mereka tau kondisi gua dan keluarga gua yang begini?'

"Ro." Vigo buka suara. Rome menoleh, menatapnya. Vigo merangkul bahu Rome, menepuknya pelan. "Sorry, ye, kita gak tau kalo ternyata ini alesan lo gak pernah ngajak kita ke rumah lo. Tapi kalo ada apa-apa, cerita aja sama kita. Gak usah malu-malu, kayak sama siapa aja. Kita bakal ngerti, kok."

Rome menunduk. Ia mengerti maksud Vigo. Dean, Raka, dan Alvin ikut mengangguk, membenarkan perkataan Vigo.

"Tapi kita gak maksa sih, Ro. Kan itu juga urusan lo, hak lo. Cuma kalo lo cerita, berbagi masalah lo sama kita, itu bakal sedikit ngurangin beban lo. Kan lo sendiri yang bilang begitu tiap kali salah satu dari kita ada masalah," timpal Raka.

Rome hanya membalasnya dengan senyum lemah. Kepalanya benar-benar penuh dan seakan-akan meminta untuk dimuntahkan. 'Apa harus?'

"Kalo lo gak mau cerita, ya udah gapapa. Tapi kita bakal tetep siap-sedia 24/7 buat dengerin cerita lo. Gua baru sadar, selama ini lo yang paling jarang curhat," tambah Dean. Lagi-lagi yang lain membenarkan. "Hampir gak pernah malah."

Rome berpikir cukup lama, hingga akhirnya ia berkata, "Gua tau ini terkesan childish banget, tapi gua mau kalian janji, abis gua cerita, jangan pernah ungkit-ungkit masalah ini lagi di depan gua. Anggep aja gua gak pernah ngomongin hal ini ke kalian. Gua cuma mau kalian tau karena kalian yang minta."

BreatheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang