Rava membuka pintu kamar rawat inap Rome perlahan. Ini sudah hari ketujuh semenjak Rome dilarikan ke rumah sakit, namun ia masih belum sadar juga dari komanya, dan Rava tidak pernah absen seharipun untuk mampir ke sini. Dua hari yang lalu, wali kelas, kepala sekolah, dan beberapa teman sekelas mereka datang ke sini untuk menjenguk Rome, kecuali Vigo dan Raka. Entah ke mana dua anak itu saat yang lainnya berkumpul di lapangan Olympus High School sebelum mereka pergi ke rumah sakit tempat Rome dirawat.
Ketika Rava melongokkan kepalanya, di dalam sana terdapat seorang wanita cantik yang sedang merapikan meja nakas yang terletak di sebelah ranjang Rome. Wanita itu menoleh, kemudian tersenyum hangat padanya. Rava membalas senyumannya, lantas menutup pintu itu perlahan.
"Selamat sore, Tante..." sapa Rava sembari menyalami tangan Imelda.
Imelda mengangguk sembari tersenyum. "Sore juga, Sayang. Dean nggak ikut ke sini?" tanya Imelda.
Rava menggeleng, "Nggak, Tante. Deannya ada urusan dulu di rumah katanya."
"Oh, gitu. Ya udah, kamu duduk aja dulu. Mau makan buah? Tuh buah yang kemarin masih seger-seger, dan karena di sini cuma ada Tante ditambah Grenza belum bangun, jadinya cuma kemakan sedikit," Imelda menawarkan sembari menunjuk parsel berisi buah-buahan yang diletakkan di meja kecil di depan sofa. Raut wajahnya sedikit berubah sendu ketika menyebut nama Grenza — panggilan yang diberikan keluarga Rome untuknya. "Eh, kamu sama temen-temen yang lain manggil Grenza dengan sebutan Rome ya?" tanya Imelda. Rava tahu pertanyaan itu hanya untuk mengalihkan pembicaraan karena ia sadar suasana ruangan berubah menjadi agak sendu.
Rava mengangguk sembari tersenyum tipis. "Iya, Tante. Kita semua manggil dia Rome. Ngomong-ngomong makasih Tante, mungkin aku makan buahnya nanti aja kalo udah kepengen, hehehe."
"Oh, iya, gapapa," jawab Imelda pendek. "Kamu duduk aja dulu, Tante masih mau beresin barang-barang di sini."
Rava mengangguk. Ia berjalan ke arah sofa, lantas duduk di atasnya. Ia memandang Rome yang masih tertutup rapat kedua matanya. Hatinya mencelos seketika. Betapa ia sangat merindukan lelaki itu. Ia rindu senyumannya, bahkan tangisannya. Ia rindu suara tertawanya, bahkan ringisan kesakitannya. Ia rindu saat-saat Rome datang ke rumahnya dan menjaga serta mengajak main Nabilla, adiknya. Ia rindu semua yang ada pada Rome. Ia rindu kebersamaannya dengan Rome, walaupun Rome hanya menganggapnya sebatas teman baik.
"Tante," panggil Rava pelan. Imelda yang kebetulan telah selesai dengan urusan beres-beresnya menoleh, melemparkan tatapan bertanya. "Gimana keadaan Rome?"
Imelda menghembuskan napas pelan. Wanita itu mengambil sesuatu dari kantung plastik di dekat nakas dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Tiga tangkai bunga lili beserta vas kacanya. Ia tersenyum samar saat menjawab, "Tadi Tante habis ketemu sama dokter yang rutin meriksa kondisi Grenza. Sejauh ini belum ada perubahan. Tapi dokter bilang, kondisinya semakin stabil walaupun perubahannya nggak terlalu signifikan."
"Terus kapan Rome bangun, Tante? Dokter masih nggak bisa mastiin ya?" tanya Rava lagi, seolah terburu-buru. Wajahnya harap-harap cemas menunggu jawaban Imelda. Wanita itu memasukkan tiga tangkai bunga lili ke vas kaca, lalu meletakkannya di atas nakas.
"Kita tunggu aja ya, Sayang?" tukas Imelda. Rava menunduk, diam-diam mendesah kecewa. Bisa ia lihat dengan ekor matanya Imelda menarik sebuah kursi mendekat ke ranjang Rome, lantas mendudukinya. Wanita itu menggenggam erat tangan anak lelaki satu-satunya. Wajahnya benar-benar menunjukkan campuran antara lelah, khawatir, dan menyesal. "Rava," panggilnya tiba-tiba.
Rava refleks menengadahkan wajahnya kembali. "Ya, Tante?"
"Terima kasih banyak ya, karena kamu udah jadi teman yang sangat baik untuk Grenza. Udah ngejaga dia, selalu ada untuk dia. Terima kasih," ucap Imelda lirih. Ia menatap Rava dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Selama ini Tante selalu ngerasa kalo Tante udah gagal jadi ibu yang baik untuk Grenza, tapi Tante bersyukur banget karena Grenza punya teman sebaik kamu dan yang lainnya."
"Ah—ahahaha, itu bukan apa-apa, Tante. Lagipula Rome anak yang baik, gak ada yang gak mau temenan sama dia. Dia juga pinter banget loh, Tante. Banyak yang naksir sama dia, hehehe," Rava berusaha mencairkan suasana. Ia tidak tega melihat Imelda menangis kembali. Wajah wanita itu terlihat benar-benar lelah. Kedua matanya bengkak, dan ada lingkaran hitam yang menghiasi bawah matanya. "Tante nggak gagal. Gak ada orang gagal yang mau memperbaiki kesalahannya."
Imelda tertawa kecil, merasa sedikit terhibur dengan kata-kata Rava. "Hahaha, begitu ya? Tante masih nggak yakin, Sayang. Tante nggak tau apa yang akan Rome katakan saat dia udah bangun nanti. Tante nggak tau apa dia bakal maafin Tante atau nggak. Tante mau Rome cepet bangun dari komanya, tapi Tante juga takut saat dia bangun nanti—"
"Rome bakal maafin Tante," potong Rava dengan nada tegas. "Aku udah bilang, Rome anak yang baik. Dia pasti bakal maafin ibunya sendiri. Tante harus percaya sama aku, Tante harus yakin."
Imelda menunduk, menatap jari-jemarinya yang menggenggam jari-jemari Rome yang bebas dari selang infus. Ia tersenyum, berusaha agar terlihat tegar. Wanita itu menatap Rava kembali dengan senyuman menahan tangis itu. "Yah, semoga."
***
Hari sudah mulai malam. Imelda pamit kepada Rava untuk membeli sesuatu, entah apa dan di mana. Kini hanya ada Rava dan Rome yang masih tertutup rapat kedua matanya di kamar itu. Seperti biasa, Rava enggan pulang cepat. Ia sudah menghubungi ibunya untuk menjemputnya di rumah sakit pukul 20.00 nanti, dan sekarang baru pukul 18.30. Imelda sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan Rava. Wanita itu malah senang karena ada yang menemaninya menjaga Rome.
Rava melirik jam dinding. Ia menatap Rome lesu, kemudian berbicara sendiri, "Gue beli minum dulu deh. Dadah, Rome. Gue tinggal dulu ya?"
Yah, sebenarnya ia berbicara kepada Rome yang masih tidak sadarkan diri.
Gadis itu bangkit, lantas keluar dari kamar Rome, berjalan perlahan menuju kantin rumah sakit. Di perjalanan menuju kantin rumah sakit yang berada di lantai bawah, pikirannya penuh oleh Rome. Ia bertanya-tanya, kapan Tuhan akan mengizinkan Rome kembali bangun? Ini semua terasa semakin sulit baginya karena ia sangat merindukan lelaki itu.
Sesampainya di kantin, ia langsung membeli sebotol air mineral dingin dan langsung kembali ke kamar rawat inap Rome setelah membayarnya. 'Apa gue minta jemput sekarang aja ya? Capek juga, pengen tidur,' batin Rava. Ia berniat akan menghubungi ibunya nanti di kamar rawat Rome. Ponselnya ia tinggal di sana. Beberapa menit kemudian, ia telah kembali dan membuka pintu rumah kamar rawat inap Rome dengan lemas. Imelda belum kembali ternyata.
Rava kembali menutup pintu itu, masih tetap menunduk sembari terus menggenggam botol air mineral yang baru dibelinya. Ia terus menunduk, hingga akhirnya ia menengadah untuk mencari keberadaan ponselnya dan tak sengaja menatapnya.
Kedua mata mereka saling bertemu.
***
mata sp tu y?
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe
Teen Fiction[Trigger warning! Efek yang kalian rasakan setelah membaca cerita ini di luar tanggung jawab dan kuasa penulis.] We all here have our own struggles. Hal tersebut adalah sesuatu yang pasti dalam hidup, yang tidak dapat ditentang lagi. Itu pula yang d...